Pancasila, Kebhinekaan dan Kesehatan Mental Kolektif Bangsa

  • Bagikan

Oleh: Dosen Fakultas Psikologi UNM Ahmad Razak

SETIAP tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia kembali merenungi kelahiran Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan segala perbedaan. Peringatan ini semestinya tidak hanya menjadi seremoni simbolik, melainkan menjadi sebuah momen reflektif untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, penting bagi kita meninjau ulang peran Pancasila yang tidak berfungsi menata sistem sosial dan politik, tetapi juga kesehatan mental kolektif bangsa.

Pancasila bukan sekadar dasar hukum, melainkan juga falsafah hidup yang memiliki dimensi psikologis dan spiritual. Kita ketahui bahwa setiap sila mengandung nilai-nilai yang memperkuat daya tahan mental masyarakat.

Seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Dalam perspektif Islam sendiri, kelima nilai ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip maqashidhusy syariah yang menekankan perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketika nilai-nilai ini diinternalisasi, maka lahirlah bangsa yang tangguh secara mental dan spiritual.

Konsep psikologi kebhinekaan menjadi penting dalam konteks ini, yaitu bagaimana keberagaman dalam suku, agama, budaya, dan bahasa dipahami sebagai anugerah, bukan sumber perpecahan. Islam sejak awal telah menegaskan nilai ini melalui ayat, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta’arafu)” (QS. Al-Hujurat:13).

Dalam perspektif psikologi, konsep ini sejalan dengan social identity theory yang menyebut bahwa individu membangun harga dirinya dari keanggotaannya dalam kelompok sosial—dan rasa hormat terhadap kelompok lain memperkuat identitas sosial yang sehat.

Kesehatan mental kolektif tidak bisa dilepaskan dari relasi sosial yang harmonis. Dalam Islam, hubungan antarmanusia ditegakkan di atas prinsip ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah islamiyah (sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (sebanga dan setanah air), maupun ukhuwah insaniyah (sesama manusia).

Prinsip ini paralel dengan teori collective efficacy dari Bandura, yaitu keyakinan kolektif bahwa masyarakat dapat bekerja sama menghadapi tantangan sosial. Ketika semangat ukhuwah dan gotong royong hidup, masyarakat menjadi lebih resilien dan damai.

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa intoleransi, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial masih marak, terutama di ruang digital. Ini menimbulkan dampak psikologis berupa collective trauma, yakni luka sosial yang dialami bersama akibat konflik atau marginalisasi. Dalam konteks ini, prinsip Islam tentang rahmah lil ‘alamin—bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam—menjadi terapi spiritual yang memperkuat kembali rasa kasih sayang dan empati lintas identitas.

Pendidikan karakter berbasis Pancasila dan nilai-nilai Islam sangat penting untuk mengembangkan emotional intelligence dan empati lintas budaya. Islam mendorong pengendalian diri (mujahadah an-nafs) dan menganjurkan husnuzhon (berbaik sangka), yang keduanya merupakan fondasi penting dalam membangun kesehatan mental pribadi maupun kolektif. Nilai-nilai ini memperkuat kemampuan seseorang dalam membangun relasi sosial yang sehat dan menghindari sikap destruktif terhadap perbedaan.

Dalam ranah komunitas, pendekatan community psychology dapat disinergikan dengan konsep islah (perdamaian) dan syura (musyawarah). Islam memuliakan proses musyawarah dalam menyelesaikan konflik sosial secara adil dan partisipatif.

Hal ini sangat relevan untuk membangun harmoni di masyarakat multikultural Indonesia. Program lintas iman, forum warga, dan rekonsiliasi lokal merupakan bentuk syura modern yang dapat memperkuat jaringan sosial dan mengurangi kecemasan kolektif.

Ruang publik yang inklusif dan bernuansa rahmat juga perlu diwujudkan dalam kebijakan. Dalam Islam, ‘adl (keadilan) bukan hanya keadilan hukum, tapi juga keadilan sosial—yakni memastikan bahwa setiap warga merasa dihargai dan tidak terpinggirkan. Psikologi sosial menunjukkan bahwa rasa keadilan sangat memengaruhi kepuasan hidup dan kestabilan emosi masyarakat. Pancasila sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” sejatinya sejalan dengan semangat ‘adl ini.

Para pemimpin, ulama, dan tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi penyejuk dalam perbedaan. Dalam Islam, pemimpin adalah ra’in (penggembala) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyah).

Transformational leadership dalam psikologi, yang menginspirasi melalui nilai dan teladan, idealnya dihayati oleh setiap pemimpin bangsa untuk menjaga kohesi sosial dan ketenangan batin umat.

Hari Lahir Pancasila adalah momen dimana dapat meneguhkan kembali bahwa menjaga kebhinekaan adalah bagian dari ibadah sosial. Islam memandang persatuan bukan sebagai tujuan duniawi semata, tetapi sebagai jalan untuk menegakkan maslahah (kemaslahatan umum).

Sebagaimana Rasulullah saw membangun Piagam Madinah sebagai ikrar hidup berdampingan lintas agama dan suku, kita pun dapat menjadikan Pancasila sebagai piagam kebangsaan yang menyelamatkan jiwa bangsa.

Kesehatan mental kolektif hanya tumbuh dalam atmosfer kasih sayang, keadilan, dan pengakuan atas martabat manusia. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan (QS. Al-Isra: 70), sehingga tidak ada tempat bagi penghinaan atas dasar suku, ras, atau agama. Pancasila mewujudkan pesan Qur’ani ini dalam konteks kenegaraan.

Dengan demikian, Pancasila bukan hanya fondasi konstitusional, tapi juga cerminan nilai-nilai universal Islam yang membangun jiwa bangsa. Kita membutuhkan lebih dari slogan dan seremoni; kita butuh kebijakan dan tindakan nyata untuk mewujudkan kebhinekaan yang menyehatkan batin bangsa.

Merawat Pancasila dan nilai-nilai Islam berarti merawat jiwa bangsa, Dan merawat jiwa bangsa berarti memastikan bahwa setiap warga merasa dihargai, didengar, dan dirangkul dalam kasih sayang kebhinekaan. Di sinilah letak kesehatan mental kolektif kita: dalam kesatuan hati yang berakar pada nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan. Jayalah bangsaku. Amin.

  • Bagikan