MAKASSAR, BACAPESAN – Ketimpangan akses terhadap bahan bacaan dan fasilitas literasi di Kota Makassar, terutama di kawasan padat penduduk dan wilayah pinggiran, kembali menuai kritik tajam dari kalangan legislatif.
Anggota DPRD Makassar, Rachmat Taqwa Quraisy, menilai pemerintah kota belum serius menempatkan literasi sebagai fondasi pembangunan jangka panjang. Menurutnya, minimnya ketersediaan perpustakaan atau ruang baca publik yang mudah diakses masyarakat di tingkat kelurahan hingga lorong menunjukkan lemahnya intervensi pemerintah dalam membangun budaya baca yang inklusif dan berkelanjutan.
Politisi PPP Makassar ini menilai, wacana penguatan literasi selama ini lebih banyak berhenti di atas kertas. Ia menyebut program-program literasi yang dijalankan dinilai cenderung formalistik dan tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni akses langsung ke masyarakat bawah.
”Banyak program literasi hanya bagus di laporan, tapi tidak terasa dampaknya di lapangan. Kita butuh gebrakan nyata, bukan sekadar seminar atau lomba membaca,” kritiknya.
Begitupun, Anggota Komisi A DPRD Makassar, Tri Sulkarnain Ahmad pun menyinggung lemahnya infrastruktur literasi yang ada, seperti perpustakaan daerah yang menurutnya belum maksimal secara fungsi maupun jangkauan.
”Perpustakaan kita di pusat kota seperti museum sunyi. Di mana peran Dinas Perpustakaan untuk masuk ke wilayah-wilayah padat, lorong-lorong, sekolah kecil, PAUD, bahkan tempat ibadah,” katanya.
Politisi Partai Demokrat Makassar ini mendesak agar Pemerintah Kota Makassar, melalui dinas teknis, segera menyusun program literasi berbasis komunitas yang konkret. Ia mendorong pengadaan mobil perpustakaan keliling, distribusi buku ke ruang komunitas, hingga pelatihan literasi digital bagi anak-anak di lingkungan menengah ke bawah.
”Literasi itu soal keadilan. Kalau hanya anak kota yang bisa baca buku bagus, lalu bagaimana dengan anak-anak di Tamangapa, Biringkanaya, atau Tallo Ini soal masa depan kota,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa rendahnya literasi juga berdampak luas dari meningkatnya hoaks, tumbuhnya intoleransi, hingga rendahnya partisipasi warga dalam kehidupan demokrasi. “Jangan heran kalau warga mudah percaya hoaks atau gampang terprovokasi. Karena literasi lemah, daya kritis mereka tidak terbentuk,” ujarnya.
Ia menegaskan komitmennya untuk membawa isu ini ke tingkat pembahasan lintas komisi, dan bahkan mendorong agar literasi masuk dalam prioritas program lintas sektor, tidak hanya menjadi urusan Dinas Perpustakaan semata.
”Kita tidak butuh seremonial. Kita butuh distribusi buku, ruang baca yang hidup di kampung-kampung, dan intervensi anggaran yang jelas. Literasi harus jadi agenda bersama,” tutupnya.(BK)