BNN Ingatkan Jaringan Narkoba Lintas Negara Terus Berevolusi

  • Bagikan

JAKARTA, BACAPESAN– Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komisaris Jenderal Polisi Marthinus Hukom mengingatkan bahwa jaringan narkoba lintas negara terus berevolusi.

Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2025, terjadi peningkatan sebesar 24 persen dalam penyitaan methamphetamine (sabu) di kawasan Asia Timur dan Tenggara.

“Hal ini merupakan alarm serius yang patut diwaspadai oleh seluruh negara di kawasan,” kata Komjen Pol. Marthinus saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu 16 Juli.

Maka dari itu, dalam paparannya pada Briefing on the 2025 World Drug Report di Jakarta pada Senin (7/7), respons berbagai negara di kawasan pun harus lebih cerdas dan bersatu, sehingga briefing yang telah digelar menjadi wadah penting untuk berbagi informasi dan memperkuat kolaborasi lintas negara.

Ditambahkan bahwa briefing tersebut pun mencerminkan komitmen kolektif untuk menghadapi tantangan serius dari peredaran narkoba sintetik yang semakin kompleks.

Indonesia, menurut Marthinus, berada dalam posisi rentan karena letak geografis yang strategis dan luasnya wilayah perairan.

Selama tahun 2024, BNN berhasil mengungkap 27 jaringan narkoba dan pada Mei 2025 berhasil menyita hingga 2 ton methamphetamine di Kepulauan Riau.

Meskipun demikian, dia menekankan bahwa penegakan hukum saja tidak cukup, sehingga diperlukan pendekatan menyeluruh melalui program pencegahan, seperti Desa Bersinar, pelibatan generasi muda, pelatihan keterampilan di wilayah rawan, serta penguatan program rehabilitasi berbasis masyarakat.

Sementara itu, Koordinator Residen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Gita Sabharwal menyampaikan apresiasi terhadap kepemimpinan Indonesia dalam memerangi narkotika. Ia menyoroti bahwa narkotika merupakan akar dari berbagai persoalan sosial dan tidak dapat diselesaikan secara sektoral atau sepihak.

Data Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menunjukkan hampir 300 juta orang di dunia menggunakan narkoba, meningkat 20 persen dalam satu dekade terakhir. Di balik data tersebut, terdapat komunitas yang terdampak, generasi muda yang terancam, serta sistem layanan kesehatan yang terbebani.

Gita juga menggarisbawahi bahwa produsen narkotika kini semakin canggih dengan memanfaatkan teknologi digital, perusahaan cangkang, serta celah di wilayah perbatasan.

Dikatakan bahwa kejahatan narkotika kini saling terhubung dengan tindak pencucian uang, kejahatan siber, dan ancaman terhadap ketahanan sosial.

“Penegakan hukum saja tidak cukup. Kita memerlukan pendekatan terintegrasi yang mencakup pencegahan, pengobatan, pengurangan dampak buruk, reintegrasi sosial dan ekonomi dengan kesehatan publik, serta hak asasi manusia sebagai fondasinya,” ujar Gita dalam kesempatan yang sama.

Kepala Kantor dan Penghubung UNODC untuk ASEAN Erik van der Veen mengapresiasi diskusi yang berlangsung dan menegaskan pentingnya kerja sama internasional berbasis data dan kebijakan yang efektif.

Menurutnya, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kini berada di garis depan dalam perang melawan narkotika sintetik di tengah semakin pesatnya kemajuan teknologi, yang juga dimanfaatkan oleh kelompok kriminal.

Dirinya juga menyoroti tren baru dalam penyalahgunaan narkotika, seperti penggunaan vape alias rokok elektrik yang dicampur dengan zat narkotika. Fenomena tersebut tidak hanya sulit terdeteksi, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi kesehatan masyarakat.

Selain itu, Erik menekankan pentingnya pelacakan aliran dana kejahatan sebagai salah satu strategi paling efektif untuk memutus mata rantai jaringan narkotika.

“UNODC bangga dapat menjadi mitra dalam kerja sama internasional dan akan terus mendukung Indonesia serta negara anggota lainnya dalam membangun kebijakan pengendalian narkotika yang komprehensif dan seimbang, baik di tingkat nasional maupun global,” tutur Erik. (AN)

  • Bagikan

Exit mobile version