Gen Z Lebih Percaya Influencer TikTok Ketimbang Dokter, Ini Kata Ahli

  • Bagikan

Penulis: Musdikawati M. (Mahasiswa S2 UNIFA Makassar)

KEPERCAYAAN generasi muda terhadap tenaga medis tampaknya semakin tergeser oleh kehadiran para influencer di media sosial. Riset terbaru dari perusahaan komunikasi global Edelman mengungkap bahwa sekitar 45 persen anak muda, terutama Gen Z, lebih percaya informasi kesehatan yang mereka temukan di media sosial seperti TikTok daripada dari dokter atau tenaga kesehatan profesional.

Survei ini dilakukan terhadap responden berusia 18–34 tahun dari 16 negara, termasuk Indonesia. Hasilnya mencerminkan tren mengkhawatirkan: berkembangnya ketidakpercayaan terhadap profesi medis di tengah maraknya penggunaan media sosial.

“Sebagai seorang dokter, saya menyaksikan semakin banyak anak muda yang lebih memilih mencari jawaban lewat TikTok atau grup obrolan dibandingkan menghubungi dokter,” ujar Dr. Charles Carisen, Chief Technology Officer di DRSONO Medical, kepada Newsweek.

Menurutnya, fenomena ini mengindikasikan pergeseran besar dalam cara generasi muda memandang otoritas medis. Survei Edelman juga mencatat bahwa sepertiga Gen Z telah mengikuti saran kesehatan dari influencer, bahkan ketika para kreator tersebut tidak memiliki latar belakang atau pelatihan medis formal.

Lebih mencengangkan lagi, Gen Z dua kali lebih mungkin dibandingkan generasi yang lebih tua untuk membiarkan orang tanpa kredensial medis memengaruhi keputusan kesehatan mereka.

Di platform TikTok, tagar seperti #medicaladvice dan #healthtok masing-masing telah digunakan dalam lebih dari 39.000 dan 153.000 unggahan. Bahkan, hampir setengah responden muda percaya bahwa meneliti sendiri di internet bisa memberi pemahaman yang setara dengan dokter profesional.

Kesehatan mental juga menjadi ranah yang terdampak besar. Banyak dokter melaporkan meningkatnya jumlah pasien muda yang mendatangi klinik dengan keyakinan telah mengalami ADHD atau gangguan spektrum autisme, semata-mata karena terpapar konten TikTok.

“Terus terang, ini masalah kesehatan masyarakat. Dukungan dari sesama atau forum daring bisa membantu secara emosional, tapi itu bukan pengganti pengobatan berbasis bukti,” tegas Dr. Carisen.

Ia bahkan mencontohkan kasus pasien yang menunda pengobatan penyakit serius karena percaya pada informasi yang didapat dari media sosial. “Pasien itu akhirnya masuk UGD beberapa minggu kemudian karena gejalanya semakin parah,” ujarnya.

Fenomena ini menjadi peringatan bagi semua pihak, baik tenaga medis, pendidik, orang tua, hingga pembuat kebijakan, untuk lebih aktif mengedukasi masyarakat khususnya generasi muda tentang pentingnya mendapatkan informasi kesehatan dari sumber terpercaya dan berbasis ilmiah.

  • Bagikan

Exit mobile version