Dari Kolong Rumah, Tudang Sipulung dan Gema Kecapi Menyapa Sejarah

  • Bagikan

PAREPARE, BACAPESAN.COM – Jumat sore, 25 Juli 2025, kolong rumah kayu hitam milik H. Saharuddin, tokoh masyarakat Bacukiki, menjadi saksi hangatnya percakapan lintas generasi dalam gelaran Tudang Sipulung.

Di sana, di samping masjid tertua di Parepare, Al-Mujahidin warga berkumpul bukan hanya untuk mengenang, tetapi menghidupkan kembali akar sejarah Bacukiki lewat tradisi musyawarah yang dikenal dengan istilah Tudang Sipulung.

Suasana penuh keakraban itu menjadi bagian penting dari Festival Budaya Bacukiki 2025, sebuah ajang yang didedikasikan untuk merawat nilai-nilai lokal dan mempertemukan pemangku kepentingan budaya.

Dimulai dengan penampilan Kacaping Empat Sekawan, grup viral di media sosial yang dikenal dengan lantunan musik tradisional dan gaya humoris mereka dengan lagu Cuncung Pene’ dan Ininnawa Sabbara’e. Pertemuan ini seolah menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini.

Acara ini menghadirkan beragam peserta, seperti tokoh masyarakat, Ketua RT dan RW, lurah, camat, guru seni budaya SMP hingga SMA dan SMK, serta mahasiswa KKN dari berbagai perguruan tinggi seperti Unhas, ITH, dan IAIN Parepare. Mereka duduk bersila, berbagi kisah, dan mendengar petuah.

Dalam sambutan yang dibacakan oleh Asisten II, Wali Kota Parepare menegaskan komitmen pemerintah dalam penguatan budaya lokal.

“Pemerintah Kota Parepare memiliki peran penting dalam penguatan budaya lokal melalui berbagai kebijakan dan program, seperti pelestarian warisan budaya, revitalisasi tradisi, hingga pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya,” katanya.

Ia menambahkan, Festival Budaya Bacukiki dan Tudang Sipulung diharapkan menjadi agenda tahunan dalam kalender kebudayaan kota.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Parepare, Ir. H. Kaharuddin Kadir, M.Si menyatakan dukungan penuh lembaga legislatif terhadap pemajuan kebudayaan lokal.

“Kami siap berpihak pada kegiatan pelestarian budaya Bacukiki, termasuk melalui penganggaran yang mendukung Lembaga Adat,” ujarnya.

Sorotan utama dari acara ini datang dari H. Saharuddin yang menyuarakan pesan mendalam “Kembali ke Akar Bacukiki.”

Ia mengisahkan bahwa jauh sebelum Parepare berdiri sebagai kota, Bacukiki telah dihuni oleh masyarakat yang bermukim di Gunung Bulu Roangnge, Lawalane, dan Kerre’e. Dalam narasi La Galigo kata dia, wilayah ini dikenal sebagai Gunung Arung, tempat masyarakat kuno yang masih menganut animisme.

“Budaya Bacukiki bukan sekadar warisan, tetapi napas hidup kita. Sudah saatnya kita bangkitkan dan rawat kembali,” tuturnya penuh haru.

A. Ikrar Labattoa, salah satu tokoh masyarakat pemerhati budaya Parepare menambahkan, kearifan lokal adalah cara masyarakat menjawab tantangan zaman.

“Tudang Sipulung ini adalah ruang bersama untuk saling belajar dan menyadari pentingnya menjaga kearifan lokal di tengah arus digitalisasi,” ujarnya.

Senada, Tri Astoto Kodarie ketua pelaksana Festival Budaya Bacukiki 2025, menyebut bahwa kegiatan ini tak hanya bersifat seremonial, melainkan memuat pesan reflektif.

“Satu agenda tudang sipulung saja bisa membuka ruang kesadaran kolektif akan pentingnya ‘Menjaga Kampung Nenek’. Ini upaya kecil, tapi bermakna besar untuk masa depan budaya kita,” pungkasnya.

Tudang Sipulung bukan sekadar tradisi duduk bersama. Ia adalah panggilan pulang, ajakan untuk menengok kembali jejak-jejak leluhur di tanah Bacukiki agar tak tercerabut dari akar budaya yang membentuk jati diri.

Pada acara ini juga, Ketua Panitia juga menyerahkan penghargaan kepada tokoh-tokoh pemerhati budaya yang menyukseskan acara tersebut, seperti Wali Kota, Camat, Lurah, dan seluruh narasumber. (*)

  • Bagikan