TAKALAR, BACAPESAN – Sejumlah orang tua siswa baru di Kabupaten Takalar mengeluhkan dugaan praktik jual-beli seragam sekolah yang diduga melibatkan pihak Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN).
Dugaan ini kembali mencuat setelah beberapa wali murid mengaku diminta membeli paket seragam melalui sekolah atau toko tertentu yang telah ditunjuk. Salah satu temuan mencuat di SMPN 2 Mappakasunggu, Kecamatan Mappakasunggu.
Di sekolah tersebut, orang tua siswa mengaku dikenai biaya sebesar Rp300 ribu untuk pembelian paket seragam yang terdiri dari baju batik, seragam olahraga, topi, dasi, dan atribut lainnya. Paket tersebut disediakan oleh pihak sekolah.
“Kami disuruh membayar Rp300 ribu untuk membeli seragam batik, olahraga, topi, dasi, dan lambang lainnya. Harga baju batiknya Rp80 ribu, padahal di pasar hanya Rp65 ribu. Ini cukup memberatkan kami sebagai orang tua, apalagi tidak semua orang tua mampu,” keluh salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya, Kamis (24/7/2025).
Praktik serupa juga diduga terjadi di SMPN 1 Polongbangkeng Utara (Polut). Di sekolah tersebut, siswa baru disebut-sebut diarahkan untuk membeli seragam di Toko Andini, yang berlokasi di Jalan Syamsuddin Daeng Ngerang, dekat sekolah.
Berdasarkan nota pembelian yang diterima redaksi, harga paket seragam di toko tersebut mencapai Rp479 ribu per siswa.
Padahal, menurut regulasi yang berlaku, sekolah tidak diperbolehkan menjual ataupun mengarahkan pembelian seragam kepada toko tertentu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 serta Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 dengan tegas melarang kepala sekolah dan guru terlibat dalam praktik komersial semacam ini.
Pengadaan seragam sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua atau wali siswa, kecuali bagi siswa dari keluarga kurang mampu—yang pun harus difasilitasi secara gratis oleh sekolah.
Ombudsman Republik Indonesia juga menegaskan bahwa praktik penjualan seragam, baik langsung maupun melalui toko mitra, merupakan bentuk pelanggaran. Sanksinya bisa berupa teguran, penurunan jabatan, hingga pencopotan kepala sekolah.
“Kalau tidak beli, kami khawatir anak kami diperlakukan berbeda. Padahal kami bisa beli seragam sendiri dengan harga yang lebih terjangkau,” ujar orang tua siswa SMPN 1 Polut, yang juga meminta identitasnya dirahasiakan.
Ia menyayangkan adanya beban ekonomi tambahan di tengah kondisi keuangan keluarga yang masih sulit. “Kami siap melapor jika praktik ini terus berlanjut. Dunia pendidikan jangan dijadikan ajang bisnis. Ini soal keadilan bagi rakyat kecil seperti kami,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala SMPN 2 Mappakasunggu, Syahrir, membantah tudingan tersebut. Ia mengklaim pihak sekolah hanya menyarankan, bukan mewajibkan pembelian seragam.
“Kami tidak mewajibkan. Hanya menyarankan agar siswa memakai seragam dan tampil rapi,” ujarnya singkat.
Hal senada diungkapkan Kepala SMPN 1 Polut, Sikati. Ia mengaku pihaknya memang menyarankan orang tua untuk membeli seragam di Toko Andini karena toko tersebut merupakan mitra sekolah.
“Kami tidak mewajibkan, hanya menyarankan beli di sana (Toko Andini). Kalau ada yang mau beli di tempat lain atau pakai baju kakaknya, kami tidak melarang,” kata Sikati.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Takalar, Darwis, menyatakan akan segera memanggil kepala sekolah yang bersangkutan untuk dimintai klarifikasi. (Tiro)