JAKARTA, BACAPESAN– Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan telah menyalurkan dana perlindungan hutan mencapai 31,1 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp507 miliar kepada 24 provinsi di berbagai wilayah Indonesia.
Indonesia telah mendapatkan dana hasil Result Based Payment (RBP) berkat kinerja pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) dari Green Climate Fund (GCF) untuk periode 2014-2016 sebesar 103,8 juta dolar AS yang dikelola oleh BPDLH.
“Kalau dulu ketika kita bicara REDD+ itu enggak ada duitnya, hanya diskusi. Sekarang ternyata sudah mulai membuahkan hasil. Jadi, kalau nanti kita bicara REDD+ itu ternyata ada duitnya. Ayo kita jaga hutannya, karena dengan jaga hutan ada dana,” ujar Ketua BPDLH Joko Tri Haryanto dalam Penandatanganan Perjanjian Penyaluran Dana RBP REDD+ for Result Period 2014-2016 GCF Output 2 di Jakarta, Kamis 7 Agustus.
Tahap pertama, Joko mengatakan, BPDLH telah menyalurkan dana sekitar Rp251 miliar kepada sembilan provinsi pada Februari 2025, dan tahap kedua telah disalurkan sekitar Rp261 miliar untuk 15 provinsi yang penandatanganan dilakukan pada hari ini.
Adapun, sisanya sekitar 20,8 juta dolar AS atau setara Rp338,8 miliar rencananya akan disalurkan kepada 14 provinsi pada tahun 2026.
Sehingga, total dana perlindungan hutan yang akan disalurkan oleh BPDLH mencapai sekitar Rp850 miliar kepada sebanyak 38 provinsi di Indonesia.
“Di periode satu sebanyak sembilan provinsi sudah mendapatkan alokasi sekitar Rp250 miliar, kemudian hari ini ada 15 provinsi lagi itu total alokasi sekitar Rp261 miliar,” ujarnya.
Joko mengatakan, dana ini akan digunakan untuk mendanai berbagai program perlindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan di tingkat daerah, daerah yang mampu menjaga hutan saat ini memiliki posisi strategis dalam peta ekonomi hijau global.
“Dalam waktu dekat kita harus dorong terus supaya dana sisanya ini tersalurkan ke 14 provinsi. Dan 14 provinsi ini tadi saya katakan, sembilan sudah mengajukan funding proposal,” ujar Joko.
Ia menjelaskan, mekanisme penyaluran RBP REDD+ dilakukan melalui Lembaga Perantara (Lemtara) atau NGO, karena alokasi dana dari pemerintah pusat datang setelah pembahasan APBD di daerah selesai.
Dengan menggunakan NGO sebagai pelaksana, lanjutnya, program tetap bisa berjalan di lapangan tanpa terganjal regulasi fiskal, yang mana pemerintah provinsi cukup menyusun rencana aksi dan memilih Lemtara yang telah terdaftar sebagai mitra BPDLH.
Adapun, saat ini terdapat sekitar 10 Lemtara yang telah siap untuk bekerja di berbagai wilayah Indonesia.
“Ini memang harapannya ke depannya bisa menjadi model bisnis. Jadi, dana ini itu menjadi rangsangan, meng-katalitik maksudnya investasi-investasi yang lain. Nah, dari situ kemudian kita bisa menyampaikan bahwa menjaga hutan itu bukan cost center, bukan biaya. Tapi justru sumber pertumbuhan baru,” ujar Joko. (AN)