JAKARTA, BACAPESAN– Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mengatakan, kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) menjadi entry point atau pintu masuk yang strategis dalam mempercepat transformasi digital usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM).
Hal itu karena QRIS membuka akses UMKM ke sistem pembayaran digital, mendorong peningkatan volume transaksi, serta memperluas konektivitas ke layanan keuangan digital, baik di dalam negeri maupun lintas negara.
“QRIS ini bisa menjadi entry point bagi UMKM dalam ekosistem ekonomi keuangan digital,” kata Filianingsih saat membuka talkshow UMKM dalam acara Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2025, di Jakarta, Kamis 7 Juli.
Lebih lanjut, Filianingsih menjelaskan bahwa QRIS telah memudahkan pelaku UMKM mengakses sistem pembayaran non-tunai secara praktis tanpa memerlukan perangkat khusus.
Di samping itu, kata dia lagi, adopsi QRIS terbukti meningkatkan volume transaksi dan profitabilitas usaha. Apalagi mengingat generasi muda sebagai konsumen utama kini lebih mengandalkan dompet digital dibandingkan uang tunai.
“Dengan menyediakan alternatif pembayaran, QRIS mendorong kenaikan volume transaksi, baik online maupun offline, dan ini berdampak positif pada pendapatan usaha. Dan ini sudah kita buktikan,” kata Filianingsih.
Setiap transaksi yang tercatat secara elektronik melalui QRIS juga dapat membantu UMKM membentuk profil keuangannya. Hal ini yang pada akhirnya mempermudah UMKM untuk mengakses pembiayaan ke lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank.
Sebagai informasi, hingga semester I-2025, BI mencatat transaksi QRIS menembus 6,05 miliar transaksi dengan nilai Rp579 triliun. QRIS telah menjangkau 57 juta pengguna dan 39,3 juta merchant yang sebesar 93,16 persen di antaranya merupakan UMKM.
Filianingsih mengingatkan, UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga menjadi pilar utama dalam mendorong pemerataan kesejahteraan dan inklusi ekonomi.
Namun kontribusi UMKM belum sepenuhnya optimal, dan masih terdapat ruang untuk memaksimalkan perannya dalam perekonomian nasional.
Filianingsih mencatat, UMKM masih menghadapi tantangan struktural, seperti keterbatasan akses pembiayaan, rendahnya digitalisasi, minimnya keterkaitan dengan rantai pasok industri, serta kelembagaan dan legalitas usaha yang belum memadai.
Banyak UMKM tetap berada pada status informal selama bertahun-tahun, karena keterbatasan modal, sumber daya, dan pemahaman regulasi.
Untuk menjawab persoalan ini, strategi korporatisasi menjadi pendekatan yang relevan guna memperkuat kelembagaan, membentuk skala ekonomi, memperluas akses pasar dan pembiayaan, serta meningkatkan daya saing.
Filianingsih menambahkan bahwa bank sentral turut mendukung transformasi UMKM melalui tiga strategi utama, yakni korporatisasi, penguatan kapasitas, dan akses pembiayaan, termasuk pembentukan klaster unggulan di sektor pangan strategis yang mendukung stabilitas inflasi.
(AN)