Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Bugis/Pau-pau

  • Bagikan

Salah satu mata pelajaran yang saat ini menjadi mata pelajaran muatan lokal adalah pelajaran bahasa daerah. Di Indonesia, bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing tertentu seperti bahasa Inggris di samping dengan sesama bahasa daerah lainnya. Maka tidak tertutup kemungkinan dan tidak terhindarkan lagi adanya saling mempengaruhi di antara bahasa-bahasa tersebut. Kenyataan yang terjadi pula saat ini bahwa ada bahasa yang sering digunakan, seperti bahasa Indonesia, ada pula yang jarang digunakan atau mungkin tidak digunakan lagi di lingkungan masyarakat multikultural seperti bahasa Bugis dan bahasa-bahasa daerah lainnya.

Upaya yang harus dilakukan dengan kondisi bahasa daerah seperti di atas adalah dengan pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa daerah juga adalah salah satu strategi untuk mempertahankan bahasa daerah. Sebagai strategi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dapat diperoleh melalui pengajaran.

Berdasarkan penjelasan UUD 1945, pasal 36, bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Oleh karena itu, bahasa daerah perlu dipertahankan dan dilindungi. Bahasa daerah secara yuridis telah ditetapkan. Oleh sebab itu, pendidikan formal seharusnya melindungi dan menyelamatkan bahasa daerah, khususnya bahasa Bugis

Salah satu materi pembelajaran bahasa daerah Bugis adalah pau-pau. Pau- pau merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berusaha mengungkapkan realitas yang ada di masyarakat. Pau-pau termasuk jenis prosa dalam sastra Bugis-Makassar. Pada prinsipnya pau-pau atau hikayat pun merupakan cerita fiktif yang dibaca untuk pelipur lara dan pembangkit semangat juang.

Bahan cerita yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan karakteristik siswa, seperti perkembangan jiwa, kemampuan bahasa dan lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, kesesuaian antara pembelajaran pau-pau dengan karakteristik siswa yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kemampuan bahasa serta lingkungan tempat tinggalnya merupakan kriteria yang harus digunakan dalam pembelajaran pau-pau. Hal ini tentunya akan berguna bagi siswa dalam memaknai pau-pau. Khususnya unsur-unsur yang membangun pau-pau. Dan akan membantu siswa dalam proses menghasilkan karya-karya sastra. Dengan demikian jelaslah bahwa pau-pau merupakan bagian dari pengajaran sastra yang berguna bagi siswa.

Di dalam sebuah pau-pau tidak hanya terdapat nilai hiburan, tetapi terdapat nilai edukatif yang memungkinkan untuk siswa teladani jika mereka telah membaca dan memahami keseluruhan isi cerita. Misalnya “Pappaseng Tomatoa, Onronna Akkalengnge, dan Paggalung Na Olokolokna” terdapat nilai- nilai edukatif, diantaranya; 1) pada cerita rakyat “Pappaseng Tomatoa” terdapat 3 nilai, yaitu nilai tanggung jawab, keadilan, serta kerja keras dan usaha. 2) pada cerita rakyat Onronna “Akkalengnge” terdapat 4 nilai, yaitu nilai kerja keras, menepati janji, kepedulian, dan nasehat. 3) cerita rakyat “Paggalung Na Olokolokna” tetrdapat 5 nilai, yaitu nilai kesabaran, menepati janji, kasih sayang, kepedulian, dan kerja keras. Analisis dalam cerita rakyat “Pappaseng Tomatoa, Onronna Akkalengnge, dan Paggalung Na Olokolokna”, menemukan beberapa nilai edukatif, sebagaimana disebut di atas, yang kemudian direfleksikan ke situasi kehidupan saat iniNilai-nilai tersebut seyogyanya terealisasi didalam masyarakat, akan tetapi realitasnya berbanding terbalik karena nilai moral dan pendidikan sekarang sudah terabaikan. Salah satu contoh yakni menurunnya sikap yang kurang bisa menghormati orang lain, baik di lingkungan pendidikan maupun dalam masyarakat dapat dilihat dari cara masyarakat berbicara, bersikap, dan berpakaian. Dalam berbicara, mereka kadang menggunakan bahasa yang kurang sopan dan sikap yang tidak pas. Dalam berpakaian, kadang tidak memperhatikan pantas atau tidaknya. Jadi, agar nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat tersebut terealisasi dan hidup ditengah-tengah masyarakat, maka perlu disosialisasikan ulang baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Untuk itu perlu dipikirkan, diterapkan atau dirancang pendidikan nilai di masyarakat melalui pendidikan budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta proses internalisasi nilai untuk melestarikan sistem nilai tersebut. Proses internalisasi nilai itu sendiri tidak lain dari salah satu aspek dari substansi proses pendidikan dalam arti luas. Dengan demikian pendidikan budi pekerti terkait dengan proses pendidikan baik yang berlangsung di keluarga (bagian dari isi pola asuh), di masyarakat (bagian dari interaksi sosial), maupun di sekolah (bagian dari proses pendidikan formal). Atas dasar ini pendidikan budi pekerti menumbuhkan sikap serta perilaku sehari-hari yang mencerminkan sistem nilai yang hidup di suatu masyarakat. Dengan demikian pengembangan pendidikan budi pekerti juga merupakan pengembangan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Contoh Cerita Rakyat Bugis/Pau-pau
Pappaseng Tomatoa

Di sebuah kampung hiduplah seorang ayah yang sudah tua dengan tiga orang putranya. Ia merasa tidak lama lagi hidupnya di dunia ini karena umurnya sudah lanjut. Dipanggilnya ketiga putranya duduk di dekatnya, lalu berkata, “Wahai anakku, sudah dekat waktunya aku dipanggil Tuhan. Ada harta pusaka yang tersimpan sebanyak tiga ratus suku-suku emas untuk kamu bertiga. Tetapi, Ayahanda pesankan kepadamu bahwa uang yang sebanyak tiga ratus suku-suku emas itu harus engkau bagi empat dan tidak dapat engkau belanjakan uang itu sebelum engkau berikan bahagiannya kepada yang harus menerimanya terlebih dahulu.” Bertanyalah ketiga putranya itu, “siapa orang yang keempat itu yang Bapak maksudkan?” Jawab ayahnya, “orang yang keempat itu adalah setan. Berikan juga sebagian kepadanya dan jangan sekali-kali engkau belanjakan uang tersebut sebelum engkau berikan bagiannya. Uang tersebut baru halal kau belanjakan sesudah kau berikan sebagian uang itu kepada setan. Tiada berapa lama setelah ia berpesan kepada ketiga putranya, meninggallah si Ayah. beberapa waktu kemudian setelah ayah meninggal, datanglah si Bungsu menyampaikan keinginannya kepada kakaknya, katanya, “aku sekarng kehabisan belanja. Aku sudah ingin belanjakan uang pusaka yang telah ditinggalkan oleh orang tua kita.” “Aku pun demikian halnya, tetapi susahnya di mana ditemukan setan itu. Lebih baik kita pergi sekarang mencari orang yang mengetahui tempatnya setan “jawab kakaknya. Akhirnya mereka sepakat pergi menemui seorang dukun untuk menanyakan di mana dapat ditemukan setan. Setelah mereka menemui seorang dukun, disampaikanlah maksudnya. Dukun itu lalu memberitahukan kepada mereka demikian, “Pergilah engkau ke kuburan pada malam Jumat, di situlah kamu akan bertemu dengan setan dan di situ pulalah kamu berikan bagiannya.” Setelah malam Jumat tiba, pergilah mereka ke kuburan. malam telah larut, bahkan subuh telah tiba pula, tetapi setan belum juga muncul. Akhirnya mereka berteriak-teriak memanggil setan untuk datang untuk menerima bagiannya. Namun demikian setan itu tak kunjung datang. Berkatalah yang paling bungsu, katanya, “ Saya rasa ada yang salah sebagaimana yang dikatakan oleh dukun itu.” Selanjutnya berkatalah yang paling tua, “Lebih baik kita mencari dukun yang lain. “ Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu dan langsung mencari dukun yang lain. Setelah mereka mendapatkan seorang dukun, berkatalah ketiga saudara itu, katanya, “Kami datang untuk mendapatkan petunjuk karena ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku- suku emas. Beliau pesankan kepada kami supaya uang tersebut dibagi empat dan tidak dapat kami bagi serta belanjakan kalau belum selesai diberikan sebagian kepada pihak keempat.” Berkatalah dukun itu, “Siapa yang kamu genapkan empat, sebab saya lihat kamu ini cuma tiga bersaudara.” Menjawab ketiga saudara itu, “Beliau perintahkan untuk diberikan sebagian untuk setan dan yang menyusahkan kami adalah di mana dapat ditemukan setan itu.” Berkatalah dukun itu, “Ke mana saja kamu sudah mencari setan itu?” Kami pergi ke kuburan sepanjang malam, menunggu sampai siang sambil meneriakkan setan, tetapi tidak ada juga yang datang, “jawab mereka. Dukun itu lalu berkata, “Coba-cobalah kamu mencarinya di sepanjang jalan pada malam Jumat. Bila sudah tengah malam maka datanglah setan ke tempat itu.” Pada malam Jumat pergilah ketiga bersaudara itu di tengah persimpangan jalan. Lewat tengah malam belum ada juga setan yang datang sehingga mereka berteriak memanggil setan, katanya, “Di mana engkau setan, datanglah sekarang di sini untuk menerima bahagianmu!” Sampai siang belum juga datang setan, sehingga bertambah pusinglah mereka. Bertanyalah yang paling bungsu, katanya. “Di mana dapat ditemukan setan itu?” Menyahut yang paling tua, “Mari kita coba pergi ke kepala perampok, sebab ada kemungkinan kepala perampok mengetahui di mana dapat ditemukan setan. Ayolah sekarang kita pergi mencari kepala perampok untuk menanyakan hal itu. “ Akhirnya mereka pergi mencari rumah kepala perampok. ketika sampai di rumah kepala perampok, ditanyalah mereka oleh kepala perampok itu , “Apa maksud kalian datang kemari?” Jawab ketiga bersaudara itu, “Ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku-suku emas, tapi warisan itu baru halal kami dapat belanjakan sesudah kami berikan bagian setan. Di mana menemukan setan supaya kami dapat memberikan bagiannya?” “Sudah dari mana saja kamu mencari setan itu?” tanya kepala perampok itu. Ketiga bersaudara itu menjawab, “Kami sudah pergi mencarinya di kuburan dan sudah pergi juga di persimpangan jalan, tetapi tidak benar apa yang telah dikatakan dukun bahwa di tempat itu ada setan.” Berkatalah kepala perampok itu, “Memang bukan di situ tempat tinggal setan, melainkan cobalah mencari di pelimbahan rumahmu sendiri, dan tunggulah sampai jauh malam pada malam Jumat.” Pada waktu malam Jumat tiba, ketiga bersaudara itu membagi diri menjaga pelimbahan rumahnya sambil menunggu setan datang. Sampai siang pun belum ada setan yang datang, sehingga bertambah gusarlah pikiran ketiga bersaudara itu. Keesokan harinya berembuklah ketiganya mencari tempat kediaman setan. Semakin mendesak pulalah keperluan uang belanjanya, dan tidak boleh sama sekali mereka belanjakan uang tersebut sebelum bahagian setan diberikan. Berkatalah yang paling tua, “Saya pernah mendengar bahwa ada seorang orang tua yang meninggal berkebun di suatu puncak gunung. Menurut kata orang, kabarnya ia seorang ulama yang sangat pintar dan bijaksana. Lebih baik ke sanalah kita pergi bertanya.” Akhirnya bersiaplah mereka akan pergi menemui petani yang dimaksud itu. Setelah mereka sampai, naiklah ke rumahnya. Bertanyalah petani itu, “ Siapakah kalian, karena baru kali ini aku melihatmu?”. Ketiga bersaudara tersebut lalu menjelaskan tentang diri mereka dan persoalan yang dihadapinya. Petani itu lalu bertanya lebih lanjut, “Apa gerangan maksud kedatanganmu ini?” Ketiga bersaudara itu kemudian menjelaskan lebih lanjut maksudnya, katanya, “Ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku-suku emas, tetapi beliau pesankan harus dibagi empat dahulu sebelum dibelanjakan. Mendengar penjelasan itu, petani tersebut bertanya, “Siapa yang akan kamu berikan sebagian , karena kulihat kamu ini hanya bertiga.” Ketiga bersaudara itu lalu menjawab, “Pihak keempat ialah setan yang harus kami berikan bagiannya dan tidak boleh kami membagi atau membelanjakan harta itu kalau setan tersebut belum mendapat bagian. Untuk itulah kami datang menemui bapak dan ingin menyatakan di mana kami dapat menemui setan itu?” Berkatalah petani itu, “Sudah dari mana saja kamu mencari seta itu?” Ketiga bersaudara itu menjawab, “Kami sudah pergi ke kuburan, sudah pergi ke persimpangan jalan, dank e pelimbahan rumah kami, tapi setan tidak kami temukan di tempat tersebut. Petani lalu berkata, “Memang tidak ada setan di tempat itu.” Ketiga bersaudara itu serentak bertanya, “Kalau demikian dimana kami dapat menemukan setan?” Petani itu selanjutnya berkata, “Setan itu bermukim di Masjid. Pergilah kamu pada hari Jumat dan di sanalah kamu akan berjumpa dengannya.” Ketiga bersaudara itu bertanya lagi, “Bagaimana caranya dapat diketahui bahwa setan itu berada di Masjid?” Petani itu menjelaskan, “Tunggulah! Orang yang lebih dahulu keluar dari Masjid setelah selesai sembahyang Jumat, itulah setan. Berikanlah bahagiannya! Hari Jumat yang akan datang tunggulah dan jaga baik-baik ia di pintu Masjid.” Setelah hari Jumat tiba, ketiga bersaudara itu bersama-sama pergi bersembahyang Jumat sambil mengambil tempat duduk di dekat pintu masjid. Setelah selesai orang memberi salam, betul ada seorang yang langsung keluar dengan cepat. Diberikanlah bagian orang itu sambil berkata, “Ambillah! ini bahagianmu!” Selesai memberikan bagian setan, kemudian mereka pulang bersama ke rumahnya. Orang yang telah menerima bagian itu langsung pulang ke rumahnya, dan dia berkata kepada tetangganya, “ Aku mendapat sedekah suku-suku emas di masjid.” Akhirnya kata- kata itu tersiar ke mana-mana. Dikatakan oleh orang bahwa si Anu mendapat suku emas pada hari Jumat setelah sembahyang. Diberitahukan oleh petani kepada ketiga bersaudara tersebut bahwa cukupkan empat kali memberikan bagian setan selama empat Jumat berturut-turut. pada hari Jumat berikutnya kembali lagi ketiga bersaudara itu bersembahyang Jumat. Di dekat pintu masjid mereka duduk bersama-sama. Sesudah orang-orang memberi salam, ada lagi orang yang cepat keluar. Diberikanlah pula bagiannya sebagaimana halnya pada minggu pertama. Selesai diberikan bagiannya, pulanglah mereka ke rumah. Setelah sampai di rumah, orang yang baru saja menerima bagian yang dianggapnya sedekah berupa suku-suku emas itu menceritakan pula kepada tetangganya bahwa ia mendapat sedekah berupa suku- suku emas pada hari Jumat. Tersebar pulalah berita itu kemana-mana yang mengatakan si Anu yang mendapat sedekah berupa suku-suku emas pada hari Jumat lalu dan pada hari Jumat ini si Ahmad lagi yang mendapat. Pada akhirnya cerita itu sampai juga ke telinga imam. Dan bertanyalah imam itu kepada bilalnya pada suatu waktu, katanya, “Bagaimanakah caranya orang-orang yang pernah mendapat suku emas itu?” Bilal itu menjawab, “Menurut cerita orang, siapa yang paling duluan keluar dari masjid, itulah yang akan mendapat sedekah suku-suku emas sebab si Anu pada Jumat yang lalu mendapat, dia juga yang paling duluan keluar. Si Ahmad lagi yang mendapat pada hari Jumat minggu ini, dia juga yang paling duluan keluar sehingga dia juga yang mendapat suku-suku emas. Mendengar penjelasan bilal tersebut, berkatalah imam itu di dalam hatinya, “kalau demikian halnya, rupanya yang paling duluan keluar dari masjid, itulah yang mendapat sedekah suku-suku emas.” Setelah hari Jumat ketiga, pergola ketiga bersaudara itu bersembahyang Jumat dan sebagaimana biasanya mereka duduk di dekat pintu. Pada saat itu imam memberitahukan kepada bilalnya, katanya, “Engkau menggantikan aku hari ini membaca khotbah dan sekaligus sebagai imam sebab aku akan duduk di belakang dekat pintu untuk mengawasi anak-anak karena sudah dua Jumat kudengar mereka selalu rebut.” Sesudah orang-orang memberi salam, cepat imam itu berdiri di depan pintu menghalangi setiap orang yang mau keluar duluan. Setelah ketiga bersaudara itu melihat imam yang paling duluan keluar dari masjid, ketiga bersaudara itu langsung memberikan bagiannya, dan mengatakan, “Ambillah bahagianmu sekarang!” Sesudah imam menerima bagiannya pulanglah ia segera ke rumahnya. Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, petani itu masih ada duduk di masjid dan sempat dilihat oleh ketiga bersaudara tersebut. Pergilah mereka menyampaikan kepada petani itu dan mengatakan, “Setan rupanya yang diangkat sebagai imam oleh orang-orang di masjid ini. Berkatalah petani itu, “Barukah sekarang engkau mengetahuinya bahwa yang dijadikan imam di kampung ini adalah seorang setan?” “Cukuplah empat kali kau berikan bagian setan” kata petani itu. Pulanglah ketiga bersaudara itu ke rumahnya masing-masing, dan tersiar pulalah cerita yang mengatakan bahwa yang menjadi imam di kampung itu adalah setan karena setiap orang yang telah menerima suku-suku emas dinamai setan. Ketika hari Jumat minggu keempat tiba, pergilah ketiga bersaudara itu ke masjid untuk bersembahyang Jumat, dan sebagaimana biasanya mereka duduk di dekat pintu masjid. Sesudah orang-orang member salam maka tinggallah orang- orang sekarang berdesak-desakan di pintu masjid. Tidak ada lagi yang mau keluar duluan karena mereka sudah mengetahuinya bahwa orang-orang yang pernah mendapat suku-suku emas adalah orang-orang yang paling duluan keluar karena tidak ada yang mau dinamakan setan, walaupun ia mendapat suku-suku emas. Bersatulah orang-orang untuk keluar sekaligus, sehingga tidak dapat lagi diketahui yang mana duluan dan yang mana kemudian keluar. Pada saat itu masih ada juga petani tiu sementara duduk di dalam masjid, lalu pergilah ketiga bersaudara tersebut memberitahukan kejadian itu dan mengatakan, “Yang mana lagi akan kami ketahui sebagai setan?” Berkatalah petani itu, “Setan itu memang demikian halnya. Kalau sudah diketahui, ia tidak mau lagi muncul. Tidak perlu lagi engkau cukupkan empat kali memberikan bahagian setan dan uang tersebut sudah halal kau belanjakan. Kembalilah kamu ke rumahmu masing-masing dan belanjakanlah harta pusaka yang ditinggalkan orang tuamu itu!” Ketiga bersaudara tersebut sudah merasa gembira. Tibalah saatnya mereka memanfaatkan warisan orang tuanya yang selama ini ditangguhkan bahan karena bahagian setan yang harus diberikan lebih dahulu. Mereka juga bertambah pengalaman tentang tipe manusia yang dapat digolongkan sebagai setan.

Nilai-nilai Edukatif Cerita Rakyat “Pappaseng Tomatoa”

1) Nilai Tanggung Jawab

Tanggung jawab umumya diartikan sebagai keharusan untuk “menanggung” dan “menjawab” dalam pengertian lain yaitu suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan. Selain itu, tanggung jawab adalah sebuah keharusan untuk memiliki kemampuan dankemauan dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu serta berani memikul akibat atas putusan dan tindakan yang dilakukan.

Tanggung jawab juga sebagai sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Tanggung jawab itu harus ditanamkan didalam diri setiap orang, karena merupakan sikap terpuji yang mendasar pada diri manusia. Seorang anak tidak boleh melalaikan kewajiban kepada orang tuanya. Dalam cerita ini, dikisahkan bahwa seorang anak (tiga bersaudara) yang bertanggung jawab kepada bapaknya. Anak tersebut melaksanakan perintah dari bapaknya yang sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab mereka. Nilai tanggung jawab bisa kita lihat dalam kutipan berikut;

Teks 1:
“Di sebuah kampung hiduplah seorang ayah yang sudah tua dengan tiga orang putranya. Ia merasa tidak lama lagi hidupnya di dunia ini karena umurnya sudah lanjut. Dipanggilnya ketiga putranya duduk di dekatnya, lalu berkata, “Wahai anakku, sudah dekat waktunya aku dipanggil Tuhan. Ada harta pusaka yang tersimpan sebanyak tiga ratus suku-suku emas untuk kamu bertiga. Tetapi, Ayahanda pesankan kepadamu bahwa uang yang sebanyak tiga ratus suku-suku emas itu harus engkau bagi empat dan tidak dapat engkau belanjakan uang itu sebelum engkau berikan bahagiannya kepada yang harus menerimanya terlebih dahulu.” (Nurdin Yusuf:1)
Dari kutipan cerita di atas, maka jelas bahwa nilai tangung jawab itu ada. Tanggung jawab tersebut diemban ketika sang ayah merasa bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, sudah dekat waktunya untuk dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sebelum tutup usia ayahnya berpesan kepada ketiga anaknya, dan pesan tersebut menjadi tanggung jawab anak-anaknya untuk dijalankan.
Kutipan cerita di atas mencerminkan akan tanggung jawab seorang anak kepada sang ayah untuk menjalankan tugas yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

2) Nilai Keadilan
Keadilan berasal dari kata dasar adil, yang artinya sama berat, tidak berat sebelah, dan tidak memihak. Kata adil juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.
Keadilan berarti membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan status yang sama. Keadilan dapat diartikan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.
Nilai edukatif yang ingin disampaikan dalam cerita ini adalah sikap adil. Salah satu ciri orang yang baik adalah orang yang adil kepada siapapun, seperti halnya seorang ayah yang digambarkan dalam cerita “Pappaseng Tomatoa”. Hal tersebut dikisahkan dalam cerita berikut ini.

Teks: 2
Dipanggilnya ketiga putranya duduk di dekatnya, lalu berkata, “Wahai anakku, sudah dekat waktunya aku dipanggil Tuhan. Ada harta pusaka yang tersimpan
sebanyak tiga ratus suku-suku emas untuk kamu bertiga. Tetapi, Ayahanda pesankan kepadamu bahwa uang yang sebanyak tiga ratus suku-suku emas itu harus engkau bagi empat dan tidak dapat engkau belanjakan uang itu sebelum engkau berikan bahagiannya kepada yang harus menerimanya terlebih dahulu.” (Nurdin Yusuf: 1)
Dalam cerita ini digambarkan bahwa seorang ayah yang merasa bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, maka beliau memanggil ketiga anaknya untuk duduk dan berkumpul bersama. Membincangkan harta warisan yang akan dibagikan kepada anak-anaknya dan satu bagian untuk orang lain tanpa membeda-bedakan yang satu dengan yang lainnya. Bahkan ayah dari ketiga bersaudara tersebut berpesan kepada anaknya agar tidak membelanjakan harta yang ditinggalkannya itu tanpa memberi orang keempat terlebih dahulu.

Dari cuplikan di atas mencerminkan nilai keadilan, seorang ayah yang memiliki sikap adil kepada anak-anaknya dan sesamanya.

3) Nilai Kerja Keras atau Usaha
Kerja keras adalah berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keinginan pencapaian hasil yang maksimal pada umumnya. Kerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan tidak memaksakan diri. Atau kesadaran untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, mengetahui apa yang tidak dilakukan serta akibat yang ditimbulkannya. Kerja keras sebagai perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Orang yang mempunyai karakter kerja keras akan senantiasa mengontrol dirinya untuk tetap fokus menyelesaikan pekerjaan yang dia terima baik pekerjaan itu disukai maupun tidak disukainya.
Semangat kerja keras yang dimiliki seseorang atau kesungguh- sungguhannya dalam bekerja juga disebut dengan etos kerja. Suatu semangat kerja yang dimiliki oleh seseorang untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan.

Jika pandangan dan sikap itu melihat kerja sebagai suatu hal yang luhur atau tinggi untuk eksistensi manusia, maka etos kerja akan tinggi. Sebaliknya, jika mereka melihat kerja sebagai suatu hal yang tidak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu dengan sendirinya akan rendah.

Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat “Pappaseng Tomatoa” merupakan cerminan dari etos kerja keras. Yaitu ketiga anak yang berusaha untuk mencari seseorang, sesuai dengan pesan yang telah diamanahkan oleh ayahnya kepada mereka. Yaitu mencari orang yang pantas untuk mendapatkan sebagian harta yang diwariskan ayahnya, orang yang maksud oleh ayahnya adalah setan (dalam wujud manusia). Perintah tersebut telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Dalam cerita digambarkan bahwa ketiga bersaudara tersebut memulainya dengan mencari seseorang yang tepat untuk bertanya, tentang keberadaan setan (yang dimaksud dalam teks adalah orang). Usaha pertama yang dilakukan ketiga saudara tersebut terdapat pada cuplikan cerita berikut.

Teks: 3
“Aku pun demikian halnya, tetapi susahnya di mana ditemukan setan itu. Lebih baik kita pergi sekarang mencari orang yang mengetahui tempatnya setan, “jawab kakaknya. Akhirnya mereka sepakat pergi menemui seorang dukun untuk menanyakan di mana dapat ditemukan setan. Setelah mereka menemui seorang dukun, disampaikanlah maksudnya.

Dukun itu lalu memberitahukan kepada mereka demikian, “Pergilah engkau ke kuburan pada malam Jumat, di situlah kamu akan bertemu dengan setan dan di situ pulalah kamu berikan bagiannya.” Setelah malam Jumat tiba, pergilah mereka ke kuburan. malam telah larut, bahkan subuh telah tiba pula, tetapi setan belum juga muncul. Akhirnya mereka berteriak-teriak memanggil setan untuk datang untuk menerima bagiannya. Namun demikian setan itu tak kunjung datang.” (Niurdi Yusuf: 2)

Usaha pertama yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, akan tetapi itu tidak membuat semangat mereka surut untuk menyampaikan amanah yang ditinggalkan ayahnya. Usaha selanjutnya hampir sama dengan usaha pertama, yaitu mencari seseorang yang bisa membantu mereka untuk menemukan orang yang tepat mendapatkan amanah dari ayahnya dalam hal ini, harta warisan yang harus dibagi pada orang yang dicarinya. Bagaimana kerja keras dan usaha selanjutnya untuk mendapatkan orang yang dimaksud?
Perhatikan cuplikan cerita berikut.
Teks: 4

“Selanjutnya berkatalah yang paling tua, “Lebih baik kita mencari dukun yang lain. “ Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu dan langsung mencari dukun yang lain. Setelah mereka mendapatkan seorang dukun, berkatalah ketiga saudara itu, katanya, “Kami datang untuk mendapatkan petunjuk karena ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku-suku emas. Beliau pesankan kepada kami supaya uang tersebut dibagi empat dan tidak dapat kami bagi serta belanjakan kalau belum selesai diberikan sebagian kepada pihak keempat.” (Nurdin Yusuf : 3)

Usaha yang mereka jalankan ini tidak semujur yang dibayangkan, lagi-lagi tidak mendapatkan hasil seperti yang dikehendaki. Gagalnya menemukan orang yang dimaksud, tidak membuat niat dan usaha mereka surut begitu saja. Mereka kemudian mencobanya kembali, yaitu dengan bertanya pada seseorang yang berbeda dari sebelumnya, dengan harapan usahanya kali ini akan berhasil. Berangkatlah ketiga bersaudara itu untuk mencari orang yang bisa membantunya untuk menemukan setan yang dimaksud. Usaha tersebut terekam dalam cuplikan cerita berikut.

Teks : 5
“Menyahut yang paling tua, “Mari kita coba pergi ke kepala perampok, sebab ada kemungkinan kepala perampok mengetahui di mana dapat ditemukan setan. Ayolah sekarang kita pergi mencari kepala perampok untuk menanyakan hal itu. “ Akhirnya mereka pergi mencari rumah kepala perampok. ketika sampai di rumah kepala prampok, pitanyalah mereka oleh kepala perampok itu , “Apa maksud kalian datang kemari?” Jawab ketiga bersaudara itu, “Ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku-suku emas, tapi warisan itu baru halal kami dapat belanjakan sesudah kami berikan bagian setan. Di mana menemukan setan supaya kami dapat memberikan bagiannya?”
“Sudah dari mana saja kamu mencari setan itu?” tanya kepala perampok itu.

Ketiga bersaudara itu menjawab, “Kami sudah pergi mencarinya di kuburan dan sudah pergi juga di persimpangan jalan, tetapi tidak benar apa yang telah dikatakan dukun bahwa di tempat itu ada setan.”

Berkatalah kepala perampok itu, “Memang bukan di situ tempat tinggal setan, melainkan cobalah mencari di pelimbahan rumahmu sendiri, dan tunggulah sampai jauh malam pada malam Jumat.”

“Pada waktu malam Jumat tiba, ketiga bersaudara itu membagi diri menjaga pelimbahan rumahnya sambil menunggu setan datang. Sampai siang pun belum ada setan yang datang, sehingga bertambah gusarlah pikiran ketiga bersaudara itu. Keesokan harinya berembuklah ketiganya mencari tempat kediaman setan. Semakin mendesak pulalah keperluan uang belanjanya, dan tidak boleh sama sekali mereka belanjakan uang tersebut sebelum bahagian setan diberikan.” (Nurdin Yusuf: 5)

Sama dengan usaha yang sebelumnya, mereka tidak menemukan setan yang dimaksud oleh kepala perampok tersebut. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengurungkan niat untuk berhenti mencari orang yang dimaksud oleh ayah mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertiga mendengar kabar bahwa ada seorang orang tua yang pernah tinggal berkebun di suatu puncak gunung. Kabarnya dia adalah seorang ulama yang pintar dan bijaksana. Setelah mendengar berita tersebut, merekapun langsung menuju tempat tersebut. Apa usaha selanjutnya yang akan dilakukan oleh tiga bersaudara itu, berikut cuplikan ceritanya.

Teks: 6
“Akhirnya bersiaplah mereka akan pergi menemui petani yang dimaksud itu. Setelah mereka sampai, naiklah ke rumahnya. Bertanyalah petani itu, “ Siapakah kalian, karena baru kali ini aku melihatmu?”. Ketiga bersaudara
tersebut lalu menjelaskan tentang diri mereka dan persoalan yang dihadapinya.”

“Petani itu lalu bertanya lebih lanjut, “Apa gerangan maksud kedatanganmu ini?” Ketiga bersaudara itu kemudian menjelaskan lebih lanjut maksudnya, katanya, “Ada harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua kami sebanyak tiga ratus suku-suku emas, tetapi beliau pesankan harus dibagi empat dahulu sebelum dibelanjakan.” (Nurdin Yusuf: 6)

Dari semua usaha dan kerja keras yang mereka lakukan, baru kali ini usaha tersebut tidak sia-sia. Setelah bertanya kepada petani tua itu berakhirlah pencarian mereka, karena orang yang mereka cari selama ini sudah ditemukan, berkat petani tua itu.

Dari kutipan di atas mencerminkan nilai kerja keras dan usaha yang mereka lakukan. Ada beberapa tahap yang mereka lakukan untuk mendapatkan orang (setan) yang berhak atas sebagian harta warisan mereka. Yang pertama, yaitu bertanya pada seorang dukun yang dianggap tahu, kepada siapa harta tersebut diberikan. Dukun pun memerintahkan kepada mereka untuk mencarinya di kuburan. Mereka pun langsung mencari pada tempat yang dimaksud dukun tersebut, aka tetapi tidak ditemukan seorang pun. Yang kedua, bertanya kepada dukun yang lain, secara langsung mereka menyampaikan maksudnya. Dukun tersebut memerintahkan mereka untuk mencarinya di sepanjang jalan pada malam jumat, hasilnya pun nihil. Yang ketiga, mereka mencari kepala perampok dengan harapan dia mengetahui orang yang dicarinya selama ini. Kepala perampok memerintahkan kepada mereka untuk mencari ke perlimbahan rumah mereka, akan tetapi tidak ada juga. Yang

terakhir yaitu mereka bertemu dengan seorang petani tua, tanpa pikir panjang maksudnya pun disampaikan kepada petani tersebut. Petani itu menyarankan mereka untuk mencarinya di masjid, menurutnya di sanalah tempat orang (setan) yang mereka cari selama ini. Dan ternyata di sanalah tempat setan yang mereka cari selama ini.
Kutipan cerita di atas mencerminkan usaha dan kerja keras yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang anak dalam menyelesaikan tugasnya.
Penulis :

  1. Andi Hajar Amanda
  2. Marhumi
  • Bagikan