Dahlan Iskan: Tidak Ada Satu pun Presiden di Republik ini yang Seberani Jokowi

  • Bagikan

JAKARTA, BACAPESAN.COM – Mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan menilai, rakyat Indonesia mendukung penuh sikap tegas Presiden Joko Widodo alias Jokowi terkait pencabutan izin tambang di seluruh Indonesia.

Pencabutan izin ini merupakan buntut dari krisisnya pasokan batu bara yang dialami oleh PT PLN (Persero).

Sebanyak 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) dicabut Jokowi. Ada tambang batu bara, lebih banyak lagi tambang mineral lainnya.

“Rasanya belum pernah ada seorang pun presiden republik ini yang seberani itu. Sampai ada yang menilai presiden lagi marah —terlihat dari mimiknya,” ujar Dahlan Iskan melalui catatan hariannya di Disway, dikutip Senin 10 Januari 2022.

Dahlan Iskan mengatakan, mencabut sebanyak 2.078 IUP bukan perkara mudah. Mencabut izin itu punya konsekuensi hukum. Juga, konsekuensi investasi: kepastian berusaha.

Dahlan menilai, mencabut itu dilakukan sendiri oleh presiden, bukan tingkat menteri, menurutnya, itu pertanda kemarahan pemerintah sudah sampai pada puncaknya.

“Logikanya, presiden menerima usulan dulu: perlunya sanksi kepada pemegang izin yang menelantarkan izin. Lalu, diterbitkanlah peringatan oleh instansi yang terkait. Setelah yang diingatkan bandel, diusulkan izin dicabut,” kata Dahlan.

“Yang mencabut tentulah instansi yang mengeluarkan izin. Maka, bahwa kali ini presiden sendiri yang mengumumkan pencabutan pastilah amat gawat” sambungnya.

Dahlan melanjutkan, secara beruntun ada dua isu nasional yang dianggap peka belakangan ini. Pertama soal ancaman krisis energi.

Pembangkit-pembangkit listrik di dalam negeri terancam mati: kekurangan batu bara. Kalaupun bisa mendapatkan batu bara, harganya melebihi lonjakan harga minyak goreng.

“Itu karena harga ekspor batu bara sudah mencapai atap joglo” katanya.

Kata dia, Pengusaha listrik dalam negeri harus membeli batu bara dengan harga yang sama dengan pengusaha listrik di Jepang: angkat tangan. Menyerah.

PLN sendiri lantas mulai menghemat batu bara —dengan cara yang mahal: membeli gas dari LNG. Yang harganya juga lagi mahal-mahalnya.

Maka, pembangkit-pembangkit listrik ”mahal” dihidupkan dengan bahan bakar LNG yang sangat mahal.

Padahal, kalau batu bara cukup, pembangkit jenis itu hanya dihidupkan pada jam-jam puncak: 17.00 sampai 22.00. Yakni, saat orang lebih banyak menggunakan listrik. Pembangkit yang dihidupkan dengan LNG itu, misalnya, yang di Muara Tawar, Muara Angke, dan Tanjung Priok.

Situasi itu sangat memalukan: negeri kaya energi, terancam kekurangan energi. Maka, pemerintah buru-buru bikin keputusan: stop ekspor batu bara. Heboh. Nama Indonesia jadi berita dunia. Dalam konotasi yang kurang baik. (fin/*)

  • Bagikan