MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Aksi-aksi mereka mengawal ambulans di jalanan kerap mendatangkan cibiran. Namun, tak sedikit pula yang merasa tertolong. Mereka menepis semua prasangka buruk itu, karena gerakan mereka atas nama kemanusiaan.
Kelompok pengawal mobil ambulans ini lebih dikenal dengan organisasi Indonesia Escorting Ambulance (IEA). Belakangan ini, personel organisasi ini marak diperbincangkan, khususnya di Makassar, Sulawesi Selatan.
Tingkah mereka dinilai melanggar sesuai aturan lalu lintas dan angkutan jalan (LLAJ). POlda Sulawesi Selatan pun mengeluarkan keputusan melarang mereka beraktivitas seperti biasanya.
Koordinator IEA Makassar, Zulkifli sangat paham dengan aturan tersebut. Namun, bagi dia, alasan kemanusiaan bisa lebih diutamakan. Apalagi, kata dia, organisasi tempatnya bernaung bergerak secara sukarela.
Zulkifli menyadari, selama ini ambulans yang membawa orang kritis karena sakit atau wafat kerap tidak mendapatkan prioritas di jalan umum.
“Kami IEA bergerak di pemanduan ambulans, tujuannya untuk membantu memperlancar jalannya ambulans yang sering terjebak kemacetan,” kata Zulkifli kepada Rakyat Sulsel, Kamis (20/1/2022).
Zulkifli terlibat dalam organisasi ini sejak 2018. Selama tiga tahun, waktunya lebih banyak mengaspal di jalanan. Menurut dia, fenomena di jalan raya menggerakkan nuraninya untuk mengambil peran. Ego pengendara lain yang kadang tidak memberikan akses priorita kepada ambulans jadi pendorong dirinya untuk bergabung meskipun punya pekerjaan utama lainnya.
“Organisasi ini bergerak secara sukarela di bidang kemanusiaan. Awalnya terbentuk di Bekasi, karena ini organisasi ada di seluruh Indonesia. Saya awalnya gabung jadi founder berangkat dari keresahan, ketika bertemu ambulans di jalan dan melihat terjebak kemacetan dan tidak mendapatkan prioritasnya. Itu yang mendorong saya,” imbuh dia.
Zulkifli yang bekerja sebagai kurir salah satu perusahaan swasta di Makassar mengatakan dalam melakukan pengawalan ambulans terkadang dikondisikan dengan pekerjaan. Sistem IEA, sambung dia, disesuaikan dengan pekerjaan. Mereka yang tergabung dalam IEA sekitar 40 orang disebut tak punya markas. Mereka melakukan pengawalan jika ada informasi yang masuk melalu grup aplikasi WhatsApp.
“Termasuk juga kalau kami kebetulan di jalan dan melihat ada ambulans lewat, kami langsung kawal. Jadi tidak ada markas tetap. Hanya komunikasi lewat grup WhatsApp saja. Toh ini juga kami lakukan secara sukarela jadi tidak ada paksaan apalagi teman-teman rata-rata juga orang kerja,” imbuh dia.
Dia melanjutkan, “Kita punya grup khusus founder. Ketika ada ambulans ingin melakukan rujukan ke rumah sakit, teman-teman langsung menjemput di daerah-daerah yang rawan macet. Misalnya di Jalan Alauddin yang dari Gowa biasa macet jadi kami lakukan penjemputan di sana,” ujarnya.
Pria 30 Tahun itu pun menceritakan, atribut seperti pakaian rompi yang mereka gunakan termasuk juga atribut kendaraan seperti lampu strobo atau lampu rotator yang menempel pada kendaraanya dibeli secara sukarela.
Alasannya untuk memudahkan mereka dalam mengawal ambulans. Utamanya, kata Zulkifli, lampu strobo sangat penting untuk membelah kemacetan.
“Kami beli sendiri semua atribut. Tapi tidak diwajibkan juga pada anggota untuk miliki itu seperti lampu strobo. Cuma melihat kondisi di lapangan kadang-kadang kalau tidak pakai sirene atau strobo kami susah mengurai kemacetan. Di Makassar, apalagi kalau sudah macet panjang, itu susah kalau mau bunyikan klakson standar,” beber Zulkifli.
Dalam melakukan pengawalan, Zulkifli mengaku sering mendapatkan cibiran dari pengguna jalan lain. Kehadiran mereka dinilai kadang menggangu pengendara lain, namun hal itu disebut sudah di abaikan sebab apa yang mereka lakukan adalah aksi kemanusiaan.
“Kadang-kadang juga mendapat perlakuan tidak enak. Tapi kami abaikan. Niat kami memang mau membantu. Kami juga tidak dibayar,” ucap Zulkifli.
Ppascaadanya larangan dari pihak kepolisian, Zulkifli dan rekan-rekannya tetap melakukan aksi kemanusiaan. IEA sendiri bukan hanya melakukan aksi pengawalan ambulans, tapi juga aksi kemanusiaan lainnya seperti bencana alam dan lainnya.
“Kami juga tidak monoton di pengawalan saja. Kami juga bergerak untuk mendukung di sektor medis, kebakaran, atau bencana alam. Pada intinya IEA adalah aksi sosial,” tukasnya.
Dalam komunitas ini disebut tak ada istilah kaderisasi. Siapapun yang mau bergabung untuk aksi sosial tidak jadi masalah. IAE juga sudah beberapa kali kerja sama dengan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Basarnas, hingga kepolisian untuk melakukan pelatihan bagi anggota.
“Jadi untuk pelatihan-pelatihan ada, seperti safety riding, bantuan hidup dasar atau pertolongan pertama, serta pelatihan rescue,” ujar Zulkifli.
Sebelumnya Polda Sulsel mengeluarkan larangan pengawalan ambulans yang dilakukan oleh sipil.
Larangan itu merujuk pada Pasal 134 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang menyatakan bahwa pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan atau diprioritaskan.
Yaitu mobil ambulans, pemadam kebakaran, kendaraan pimpinan dan lembaga negara, kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang jadi tamu negara. Juga iring-iringan pengantar jenazah dan terakhir adalah konvoi dan atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan kepolisian.
Selain itu dalam undang-undang yang disebutkan di atas tepatnya pada Pasal 135 Ayat 1 UU LLAJ juga terdapat aturan yang menyebutkan bahwa kendaraan yang mendapat hak utama, harus dikawal petugas kepolisian.
Pengawalan disertai dengan dan atau menggunakan lampu isyarat merah atau biru dan bunyi sirine. Alat pemberi isyarat lalu lintas ini, tidak berlaku bagi kendaraan yang mendapatkan hak utama. Aturan ini disebut Polisi perlu disosialisasikan pada masyarakat sebab masih ada masyarakat yang kurang paham akan aturan tersebut. (*)