Geliat Pangkas Rambut Tradisional dan Modern (Bagian 1)

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Awan tebal di atas langit Kota Makassar membuat suasana Rabu sore (9/2/2022) lebih sejuk dari hari biasanya. Tak ada hujan. Hanya mendung. Cahaya matahari mengintip dari cela-cela awan.

Hilir mudik kendaraan warga Kota Daeng di sekitar Jalan Masjid Raya, tampak seperti biasanya. Bising suara kendaraan sudah sesuatu yang tak asing lagi di kota ini.

Dari arah lampu merah Masjid Raya Makassar, penulis perlahan menepikan kendaraan ke sebelah kanan bahu jalan. Menghampiri seorang lelaki sepuh yang sedang duduk santai sembari bermain gadget.

Pria itu bernama Syamsuddin, ia sehari-harinya bekerja sebagai tukang cukur di sisi Jalan Masjid Raya, tepatnya di depan persimpangan Jalan Sunu.

“Mau cukur, nak?” sapa pria berkumis itu pada penulis saat menghampiri.

“Tidak pak. Hanya singgah duduk dan lihat orang dicukur,” ujar penulis.

Sembali ngobrol, Syamsuddin yang sudah berusia 47 tahun itu lalu menyalakan sebatang rokok yang sedari tadi diapit oleh jemarinya. Merokok sambil bercerita, kata dia, lebih rileks dan tidak kaku.

Syamsuddin pun mulai menceritakan berkisah menjadi tukang cukur pinggir jalan atau yang lebih dikenal tukang cukur di bawah pohon, Jalan Masjid Raya.

“Saya di sini jadi tukang cukur bawah pohon sudah dari tahun 1990 an. Sudah lebih 20 tahun,” ucapnya.

Sebelum menjadi tukang cukur di tempat itu, Syamsuddin mengaku banyak menghabiskan waktunya di kampung halamannya di Kabupaten Jeneponto. Namun karena ia menikah dengan seorang wanita yang berdomisili di Kota Makassar ia pun ikut hijrah dan menetap di Makassar. Tepatnya di Kelurahan Pampang, Kecamatan Panakkukang.

“Jadi saya itu ke Makassar ikut istri, dia juga orang Jeneponto tapi dari kecil tinggal di Pampang,” imbuh dia.

Profesi tukang cukur bawa pohon itu merupakan rintisan dari mertuanya. Pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, mertua laki-lakinya sudah membuat lapak cukur di tempat itu. Namun karena mertuanya meninggal dunia, maka dialah yang meneruskan ‘bisnis’ keluarga itu.

Syamsuddin mengatakan, tak pernah sekolah atau kursus khusus untuk bisa mahir mencukur. Dirinya pun hanya bermodalkan pengalaman di kampung halamannya. Dia sering memangkas rambut teman-temannya. Modal itulah yang kemudian diasah Syamsuddin hingga mahir mencukur seperti saat sekarang ini.

“Modal pengalaman mencukur di kampung dulu. Kebetulan ketemu mertua yang pintar mencukur, jadi saya belajar sama dia. Setelah meninggal saya yang lanjutkan usahanya,” sebut Syamsuddin.

Selain Syamsuddin, beberapa tukang cukur yang ada di tempat itu disebut kerabat dekat. Tak ada orang lain, mereka masih satu nenek moyang.

“Di sini keluarga semua. Dari ujung sana sampai sini berkeluarga,” ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya menjelaskan pada penulis.

Di tempat cukurnya yang adem itu, Syamsuddin mengaku sudah banyak perwira polisi, juga anggota TNI AD yang sering singgah mengikis rambutnya. Termasuk anak-anak sekolah yang kerap mampir untuk cukur.

Tak ada rujukan model atau gaya rambut untuk anggota polisi dan tentara. Ia mengaku sudah paham keinginan mereka. Potong pendek dan rapi. Apalagi anak sekolah, Syamsuddin menyebut itu paling gampang sebab aturan sekolah semuanya sama, ukuran rambut siswa tidak boleh lebih dari dua sentimeter.

“Paling sering datang di sini itu polisi sama tentara. Termasuk anak-anak sekolah juga. Bahkan hampir semua anggota Polsek Bontoala itu cukur di sini,” bebernya. Polsek Bontoala memang hanya berjarak sepelemparan batu dari lokas itu.

lapak cukur itu dibuka dari hari Senin-Sabtu. kadang juga buka hari Minggu. Bergantung mood Syamsuddin. Ia mulai buka dari Pukul 08.00-17.00 wita.

Dalam seharinya, Syamsuddin mengaku tak mendapat penghasilan yang menentu, sebab bergantung dari jumlah pelanggannya yang datang. Dalam sehari, kadang hanya ada empat orang yang ia cukur. Kadang juga di atas sepuluh orang. Tarifnya pun bervariasi atara orang dewasa dan anak-anak.

“Yah begini kadang-kadang sepi, kadang banyak sekali. Ini satu hari baru empat orang saya cukur. Untuk orang dewasa itu Rp 20 ribu, dan anak-anak Rp 15 ribu,” ujarnya.

Meski begitu, Syamsuddin mengaku tetap bersyukur, sebab dari hasil itulah ia bisa menafkahi keluarganya termasuk menyekolahkan dua orang anaknya.

Menjamurnya barbershop di Kota Makassar saat ini juga tak diambil pusing Syamsuddin. Menurut dia, tiap orang sudah diatur rezekinya masing-masing oleh Sang Pencipta.

Menjaga kepercayaan dan memberikan pelayanan yang nyaman pada pelanggan disebut sebagai kunci utama bisnisnya bisa bertahan hingga sampai sekarang ini.

Tak ada alat cukur yang mahal yang ia gunakan. Hanya beberapa buah gunting dan satu alat mesin cukur modern di atas mejanya. Sebab dalam mencukur, kata Syamsuddin, ada trik tersendiri.

“Rata-rata yang saya cukur itu pelanggan yang datang kembali. Intinya berikan pelayanan terbaik. Sedikit juga skil tali itu rahasia,” ucapnya sembari tersenyum. (*)

  • Bagikan