Mengintip Museum Kota Makassar, Sepi Kunjungan di Tengah Hiruk Pikuk Metropolitan

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Sebuah bangunan kokoh nan megah menjadi perhatian saat penulis melintas di Jalan Balai Kota Makassar. Rintik hujan yang mulai turun, membuat penulis memutuskan untuk berteduh dan menyempatkan mampir ke bangunan tersebut.

Di halaman depan, terdapat tulisan besar bertuliskan Museum Kota Makassar. Sebuah meriam kecil diapit oleh tulisan itu.

Bangunan tua bergaya eksterior art deco khas Eropa itu berdiri kokoh tak jauh dari gedung pusat pemerintahan Kota Makassar.

Dari luar, seluruh bangunan tampak dicat berwarna krem dengan paduan cokelat tua pada kosen jendela, pintu, dan ventilasi yang berukuran lebar. Tepat di depan jendela utama, terdapat satu tiang dengan bendera merah putih.

Halaman yang cukup luas di bagian depan, samping dan belakang mengelilingi bangunan utama.
Bangunan ini mengadopsi arsitektur berciri neo klasik, campuran Rennaisance dan Gotik. Dapat dilihat pada dinding-dinding yang dihubungkan dengan pilaster atau kolom yang menyatu dengan dinding tetapi menonjol keluar.

Atapnya berbentuk limasan dengan kemiringan yang tajam. Pada sisi miring atap depan terdapat dormer, atap bangunan tropis yang berfungsi juga sebagai ventilasi udara.

Bangunan ini didirikan sekitar tahun 1918 oleh pemerintah Belanda untuk difungsikan sebagai Kantor Wali Kota Makassar, pada masa jabatan J.E. Dambrink, Wali Kota pertama Makassar.

Bangunan ini digunakan sebagai tempat para pimpinan eksekutif menjalankan kegiatannya, yang merupakan lambang keberadaan pemerintah Belanda di Kota Makassar.

Setelah itu, sempat pula dimanfaatkan sebagai Kantor Bappeda dan sekarang difungsikan sebagai Museum Kota Makassar.

Sesaat setelah memasuki pintu kaca, penulis langsung berada di ruang utama bangunan. Penulis disambut sebuah piano besar berwarna hitam dengan sepeda ontel lawas di sisinya.

Penulis cukup lama mengamati sepeda ontel tersebut. Hingga akhirnya, sebuah suara dari belakang mengangetkan penulis. “Itu sepeda ontel yang dihibahkan orang.”

Itu suara seorang wanita paruh baya.

“Saya Nurharlah Dahlan, pelaksana tugas Kepala Museum Kota Makassar,” ucapnya memperkenalkan diri.

Dia sepertinya tahu penulis ingin menggali informasi dari museum ini. Sembari mengamati setiap sudut ruangan, Nurharlah mencoba membeberkan hal yang penulis inginkan.

“Semua hal yang ada di museum ini masih dipertahankan seperti sejak awal dibangun. Memang ada beberapa yang direnovasi, namun, kami renovasi dengan tetap mempertahankan atau paling tidak dibuat semirip mungkin dengan aslinya,” ucap Nurharlah.

Di sisi kiri ruangan, terdapat meja tamu. Wanita di balik meja tersebut mengarahkan untuk mengisi buku tamu. Rupanya, penulis adalah pengunjung pertama di hari itu.

Suasana cukup sepi saat itu. Tak ada pengunjung lain yang terlihat. Padahal, bisa dibilang museum ini berada di pusat kota. Hanya beberapa pegawai museum yang berlalu-lalang. Sangat kontras dengan kondisi di sekitarnya yang penuh keramaian.

Usai mengisi buku tamu, penulis berjalan ke sebuah pintu di sisi kiri. Di dalamnya terdapat tiga lemari kaca berukuran besar yang berisi peta gambaran sejarah Kota Makassar, sejarah kerajaan kembar Gowa-Tallo, peta Kota Makassar pada abad 16-17.

Di lemari kaca lain, terdapat informasi yang berisi arti dan asal usul nama Makassar, serta sejarah Makassar sebagai pusat penyiaran agama Islam.

Ruangan tersebut memiliki satu pintu lain yang terhubung dengan ruangan di sebelahnya. Ruangan itu rupanya berisi potret para pemimpin Kota Makassar sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda hingga kini.

Semua potret tersebut dipajang berdampingan dengan potret besar lukisan Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Aura anggun dan ketegasannya masih terasa dari sorot mata yang tergambar.

Di ruangan lain, pakaian adat Suku Bugis, Makassar, Luwu, dan Toraja berjajar rapi di dalam lemari kaca. Adapula pakaian adat dari Cina/Tionghoa, India, dan Melayu. Bukti bahwa etnis-etnis ini cukup banyak yang bermukim di Makassar.

Senjata, peta pelayaran, hingga keramik koleksi perdagangan di masa lampau menjadi saksi bahwa daerah ini pernah berjaya di sektor perdagangan dan pelayarannya.

Sebuah tangga besar berada tepat di tengah bangunan. Tangga itu mengarah ke lantai mezzanine yang langsung berhadapan dengan sebuah pintu. Di balik pintu itu, rupanya merupakan ruang audio visual.

“Ini ruang sinema, layaknya bioskop, di sini dimanfaatkan untuk memutar film-film dokumenter masa lalu, atau dokumentasi kegiatan-kegiatan yang pernah dijalankan pihak Museum,” jelas Nurharlah.

Dari lantai mezzanine itu, dua buah tangga yang mengarah ke lantai dua melekat di sisi kanan dan kiri dinding bangunan.

Di lantai dua, penulis memasuki sebuah ruangan yang sangat luas. Interior ruangan berisi deretan meja dan kursi-kursi yang cukup besar. Di bagian depan, ada satu meja panjang yang memuat 6 buah kursi. Di sebelahnya, berdiri sebuah mimbar.

Tulisan di salah satu sisi ruangan menunjukkan bahwa ruangan tersebut adalah Ruang Sidang Dewan Kota Awal Abad XX.

Nurharlah bercerita, pernah suatu ketika ada turis asing yang berkunjung. Kebetulan, saat itu dia menjadi pemandunya. Saat berada di ruang sidang, turis tersebut merenung cukup lama.

“Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya, ada apa? Turis itu menjawab kalau dia dulu menikah di tempat ini, tepat di ruangan ini,” ucapnya.

Entah kenapa, penulis tiba-tiba merinding, tidak cukup berani untuk berlama-lama berada di situ. Penulis lantas beranjak ke ruangan lain. Tepat di sebelah ruang sidang, ada ruang pameran temporer.

Jika ruangan lain berisi benda-benda peninggalan masa lampau, di ruangan ini justru banyak patung-patung kecil, gerabah, hingga lukisan yang merupakan hasil karya siswa-siswa yang pernah berkunjung ke museum ini.

“Hasil karya mereka kami pajang di sini agar mereka merasa ada ikatan emosional dengan museum ini. Dengan begitu, mereka nanti bakal ada keinginan untuk kembali ke sini,” kata Nurharlah.

Sepanjang tahun 2021, kata dia, pihaknya mencatat ada sekitar 4 ribuan pengunjung yang datang ke museum. Mereka dari berbagai kalangan. Mulai siswa, mahasiswa, peneliti, dan lainnya.

“Wisatawan asing pun sebenarnya kerap datang ke sini. Hanya saja karena situasi pandemi, jadi belakangan ini agak kurang yang berkunjung,” katanya.

Saat ini, pengelola museum bersama Dinas Kebudayaan Kota Makassar terus berinovasi menempuh berbagai cara untuk mempromosikan museum guna mendongkrak kunjungan. Sasaran terbesarnya adalah generasi milenial dan gen Z.

“Sebelum pandemi, kami bahkan terjun langsung ke masyarakat lewat program museum keliling. Kami juga sering menggandeng komunitas untuk mengadakan kegiatan di halaman depan, dengan harapan, orang-orang tertarik dan bisa menjadikan museum sebagai salah satu destinasi wisata,” imbuh dia. (*)

  • Bagikan