Lawan PT Vale, Warga Adat Didamping 14 Pengacara

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM — Polemik antara masyarakat lokal Sorowako, Luwu Timur dengan PT Vale Indonesia Tbk terus berlangsung. Sepluh kelompok masyarakat adat yang tergabung dalam Badan Pekerja Masyarakat Adat (BPMA) terus mendesak perusahaan asing itu untuk bertanggung jawab, baik dari segi lingkungan yang dinilai rusak akibat eksploitasi tambang nikel hingga kehidupan sosial masyarakat sekitar lokasi konsesi.

Sepuluh anak suku asli Luwu Timur ini yakni suku To Karun Si’E, suku To Padoe, suku To Tambee, suku To Konde, suku To Timampu’u, suku To Pekaloa, suku To Turea, suku To Beau, suku To Weula, dan suku To Taipa.

Aksi protes masyarakat terdampak yang sudah berlangsung beberapa pekan terkahir pun berbuntut hingga penangkapan tiga massa aksi. Ketiga orang ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Luwu Timur.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin mengatakan pihaknya bersama beberapa aktivis menyiapkan kurang lebih 14 pengacara untuk mendampingi. Mereka berasal dari LBH Makassar, PBHI, Walhi Sulsel, dan KSN.

“Masing-masing mengirimkan tim lawyernya untuk mendampingi warga,” kata Amin, Senin (21/3/2022).

Dalam kasus ini, Walhi Sulsel mendorong agar tiga orang warga adat Sorowako yang memperjuangkan haknya lalu ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dapat diselesaikan melalu jalur hukum Restorative Justice (RJ) sebagaimana yang sementara digaung-gaungkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo maupun Jaksa Agung ST Burhanuddin.

“Sangat tidak tepat bila warga adat Sorowako ini dikriminalisasi karena memperjuangkan haknya,” ujar Amin.

Perusahaan asal Brasil ini yang sudah mengeruk kekayaan alam Luwu Timur selama 52 tahun lamanya. Seharunya, kata Amin, mereka mengambil sikap, dengan memberi respons atas tuntutan masyarakat adat. Bukan malah melakukan perlawanan dengan cara mengkriminalisasi atau melaporkan warga yang sedang melakukan aksi unjuk rasa.

“Seharusnya PT Vale menjawab tuntutan masyarakat dengan dialog bukan menggiring masyarakat atau mengkriminalisasi masyarakat karena ini tentu saja akan menambah masalah kemudian hari,” ungkapnya.

Amin mengatakan, pihaknya tak konsen terhadap tuntutan masyarakat mengenai dana corporate social responsibility (CSR) sebab pihaknya lebih fokus pada masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat dari aktivitas tambang PT Vale.

Menurut dia, masalah lingkungan adalah hal yang mendasar sebab PT Vale tidak akan selamanya berada di wilayah Sorowako. Sementara masyarakat lokal akan beranak cucu di wilayah tersebut dalam kondisi lingkungan yang sudah rusak.

Kami tidak tahu menahu soal perjuangan CSR karena itu mungkin pendapat masyarakat tapi bagi kami ketaatan terhadap lingkungan hidup dan pemenuhan hak hak masyarakat adat selama di dalam lingkar tambang itu yang harus di utamakan.

Proses kriminalisasi terhadap warga, dinilai Amin, tidak akan menyurutkan semangat warga untuk melaksanakan aksi unjuk rasa. Sebab menurutnya perjuangan masyarakat adat tidak akan berhenti sampai tuntutan mereka dipenuhi oleh PT Vale.

“Kami tidak tahu menahu soal perjuangan CSR karena itu mungkin pendapat masyarakat, tapi bagi kami ketaatan terhadap lingkungan hidup dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat selama di dalam lingkar tambang itu yang harus diutamakan. Oleh karena itu, sekali lagi saya minta kepada PT Vale kemudian Kapolres Luwu Timur untuk menerapkan Rj pada ketiga korban yang saat ini masih ditahan,” imbuh Amin.

Perihal Rapat Degar Pendapat (RDP) yang dijadwalkan akan digelar Kamis 24 Maret 2021, Walhi Sulsel menyebut masih mempelajari apakah pihaknya akan menghadiri undangan itu atau tidak. Sebab, kata dia, bila RDP itu tidak memberikan manfaat apa-apa terhadap masyarakat khususnya respons dari PT Vale maka sama saja RDP itu mubazir.

“Kami masih mempertimbangkan. Kami sudah menerima undang itu dan kami sedang mempelajari apa manfaat atau apa pentingnya Walhi terlibat dalam RDP itu,” ujar Amin.

Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan pihak Polres Luwu Timur. Salah satunya adalah proses penangkapan tiga orang warga yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam undang-undang.

“Mereka ditangkap dan ditahan tanpa surat penangkapan dan penahanan. Kedua mereka ini dalam keadaan panik dan melakukan pembelaan diri karena ini adalah aksi damai yang mereka lakukan,” kata Haedir.

Respons massa aksi terhadap mobil dan sopir PT Vale dinilai suatu sikap spontanitas sebab ada salah
seorang perempuan dari massa aksi yang menjadi korban usai ditabrak mobil tersebut.

Selain itu, Haedir juga menilai, mereka yang ditetapkan sebagai tersangka belum tentu yang melakukan pengrusakan mobil milik PT Vale. Oleh karena itu, polisi diminta tak semena-mena melakukan penangkapan tanpa proses penyelidikan dan penyidikan.

“Yang melakukan pengrusakan itu belum tentu ketiga orang ini. Hal ini yang harus dilihat juga oleh Kepolisian. Ada juga persoalan dalam menyampaikan pendapat. Aksi yang dilakukan masyarakay adalah aksi damai. Harusnya seluruh pihak melihatnya atau kata lain menghormati hak mereka dalam menyampaikan pendapat,” ungkapnya.

Haedir mengaku kecewa sebab proses penangkapan dan penetapan tersangka begitu cepat. Sementara dalam banyak kasus yang didampingi LBH Makassr bila pelapor dari kalangan menengah bawah biasanya proses hukumnya lamban dan lama, bahkan ada yang tidak diproses sama sekali.

“Hukum di tangan kepolisian itu sangat tumpul ke atas tajam ke bawah,” sebut Haedir. (*)

  • Bagikan