Giliran Komisi C Garap PT Vale

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan terus mengincar PT Vale Indonesia Tbk. Giliran Komisi C yang membidangi masalah keuangan, memanggil direktur utama PT Vale untuk hadir dalam rapat kerja.

Dalam surat undangan yang salinannya dimilik Harian Rakyat Sulsel, Komisi C DPRD Sulsel memanggil PT Vale dalam rapat yang dijadwalkan pada Senin 4 April, hari ini. Komisi C menjadwalkan agenda rapat dengan pembahasan mengenai kontribusi PT Vale kepada pemerintah daerah.

Ketua Komisi C DPRD Sulsel, Sri Rahmi mengatakan pihaknya dengan PT Vale akan melakukan rapat triwulan. Menurut dia, rapat tersebut digelar sebagai secara rutin.

“Kan DPRD dengan PT Vale bermitra,” imbuh Sri Rahmi, Minggu (3/4/2022).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan pihaknya akan mendalami kontribusi PT Vale kepada pemerintah selama ini. Menurut dia, banyak hal yang akan ditanyakan seperti pendapatan dari PT Vale sepeti pajak kendaraan bermotor, pajak kendaraan berat, dan pajak air permukaan.

“Jadi semua itu ingin kami dengarkan langsung dari manajemen perusahaan itu,” imbuh Sri.

Sri menjamin pihaknya tidak akan melakukan pengusiran kepada manajemen PT Vale, seperti yang terjadi saat rapat dengar pendapat bersama Komisi D, pekan lalu. Menurut dia, pihak PT Vale akan diberi kesempatan untuk menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan oleh Komisi C.

“Kami jamin tidak ada pengusiran selama yang hadir itu direktur yang berkompeten dan berwenang di bidangnya,” imbuh dia.

Sebelumnya, rapat dengar pendapat (RDP) yang diagendakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan bersama PT Vale Indonesia Tbk, batal digelar, Kamis (24/3/2022). PT Vale hanya mengutus direktur eksternal memenuhi undangan wakil rakyat tersebut.

Komisi D yang membidangi pembangunan itu merasa tidak dihargai karena PT Vale hanya mengutus direktur eksternal. Padahal, dalam undangan RDP, DPRD meminta kehadiran direktur utama.

Komisi D ingin mengorek keterangan dari PT Vale mengenai pengelolaan limbah dan reklamasi lahan pascatambang di Sorowako, Luwu Timur.

Berdasarkan temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, perusahaan asal Brasil itu diduga belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam perbaikan kerusakan atau reklamasi pascatambang di lahan lokasi penambangan. Walhi membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan, dari catatan hasil investigasi dan pemantauan langsung di lokasi tambang periode Januari-Maret tahun 2022, pihaknya menemukan ketidaksesuaian data dengan yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Beberapa temuan itu, kata Amin, yakni di blok Sorowako dan blok Pongkeru, Luwu Timur. Aktivis Walhi menemukan pengelolaan lingkungan pascatambang PT Vale belum dipulihkan sebagaimana yang dimandatkan oleh undang-undang terutama terkait dengan reklamasi dan penghijauan kembali area bekas galian tambang.

Kegiatan penghijauan PT Vale, kata Amin, terkesan formalitas atau hanya untuk menunjukan pada pemerintah bahwa perusahaan itu menerapkan sistem pemulihan lingkungan yang tepat atau yang benar.
“Tapi fakta yang kami temukan, kegiatan penghijauan itu tidak bermakna karena tidak mengembalikan daya dukung atau daya tampung lingkungan yang sudah di rusak oleh PT Vale saat melakukan penambangan,” kata Amin.

Selain itu, Amin mengatakan, dugaan pelanggaran lain dari perusahaan yang sudah mengeruk hasil bumi Sulawesi Selatan khusunya Luwu Timur selama 52 tahun itu terletak pada pemberian kesejahteraan masyarakat adat atau masyarakat Lolak.

Menurut Amin, Walhi menemukan banyaknya masyarakat, utamanya masyarakat adat yang masih hidup dalam kondisi garis kemiskinan dan tidak mendapatkan fasilitas dari perusahaan raksasa tersebut.
Sementara PT Vale telah mengeruk sumber daya alam di wilayah secara terus menerus dimanfaatkan, termasuk pembangkit tenaga listrik dengan membendung air sungai yang mengalir dari Danau Matano di pesisir Malili.

“Contoh salah satu masyarakat adat yang sampai saat ini mendiami lokasi atau pemukiman mereka itu tidak dialiri air bersih. Sementara perumahan-perumahan karyawan PT Vale itu dialiri air bersih. Masyarakat asli Sorowako yang saat ini bermukim di tanah adatnya itu tidak diberikan air bersih yang notabene merupakan haknya. Menurut saya ini juga ketimpangan yang perlu dipublikasi dan disampaikan pada publik,” beber Amin.

Sementara itu, Ketua Komisi D, DPRD Sulsel, Rahman Pina mengatakan pihaknya belum menjadwalkan ulang rapat dengar pendapat (RDP) dengan PT Vale. Menurut dia, pihaknya tetap akan fokus pada aktivitas pertambangan dan limbah yang diduga bermasalah oleh perusahaan tersebut.

Menurut Rahman, Komisi C juga punya kewenangan untuk memanggil manajemen PT Vale. “Mereka memiliki porsi masing-masing,” ujar dia.

Sementara itu, perjuangan masyarat adat Sorowako, Luwu Timur (Lutim) yang mendesak PT Vale Indonesia transparan atas dana corporate social responsibility (CSR) dari tahun 2018 belum mendapat respon pihak perusahaan, khususnya President Director PT Vale Indonesia, Febriani Eddy selaku pengambil kebijakan.

Sepuluh kelompok masyarakat adat yang tergabung dalam BPMA (Badan Pekerja Masyarakat Adat) masing-masing suku To Karun Si’E, suku To Padoe, suku To Tambee, suku To Konde, suku To Timampu’u, suku To Pekaloa, suku To Turea, suku To Beau, suku To Weula, dan suku To Taipa terus mendesak hak mereka yang tidak mereka dapatkan sampai sekarang.

Tokoh masyarakat adat di Sorowako, Andi Karman mengatakan, hampir satu bulan masyarat adat menggelar aksi unjuk rasa, pihak PT Vale Indonesia masi juga “cuek”. Aspirasi masyarakat adat atau penduduk asli Sorowako diabaikan. Sementara perusahaan itu terus menerus mengeruk kekayaan bumi kampung halaman mereka.

“Kami terus menunggu PT Vale. Belum ada niat President Director PT Vale untuk bertemu dengan kami. Mereka selalu menyuruh bawahannya datang, sementara mereka tak bisa berbuat apa-apa, utamanya dalam mengambil keputusan,” kata Andi Karman, Minggu (3/4/2022).

Perusahaan tambang yang sudah beroperasi di tanah Sorowako selama 52 tahun itu diminta taat atas aturan yang ada. Terutama dalam pemanfaatan dana CSR yang aturannya sangat jelas dalam kontrak yang telah disepakati sebelumnya baik dari pemerintah, perusahaan, maupun masyarat adat sendiri.

Andi Karman mengatakan, selain pemanfaatan masyarat adat, PT Vale Indonesia juga harusnya berpihak pada pemulihan lingkungan sebab masyarat adat atau masyarat lokal yang ada akan tetap tinggal dan bermukim di wilayah itu. Sedangkan PT Vale Indonesia suatu saat akan meninggalkan Blok Sorowako.

“Kami terus menunggu ada niat baik dari PT Vale,” ujarnya.

Lebih jauh, Andi Karman mengomentari sikap PT Vale Indonesia yang tiba-tiba membuka lowongan pekerjaan dikhususkan pada masyarat Luwu Timur. Ia menilai itu hanyalah sebuah pembagunan citra ditengah desakan masyarat adat.

“Buat sensasi saja, mau memperbaiki nama, bagaimana di publik nanti bilang kami begini dan begitu. Tapi faktanya pada saat turun di lapangan silakan liat bobroknya. Yang selalu dimunculkan di publik PT Vale Indonesia itu yang baik-baiknya saja,” beber dia.

Bukan hanya itu, pihak Polres Luwu Timur juga disebut hingga saat ini masih terus meneror warga dengan turun melakukan penyelidikan terkait aksi yang terjadi sebelumnya. Dalam aksi itu ada tiga warga yang diamankan dan ditetapkan sebagai tersangka.

“Polisi masih terus turun mencari data, banyak masyarakat yang diperiksa. Saya kemarin sempat ikut diperiksa. Saya bicara apa adanya saja tidak mungkin masyarat turun demo kalau tidak ada penyebabnya,” ujarnya.

Dalam masalah ini juga, Andi Karman meminta pihak pemerintah daerah dalam DPRD Luwu Timur dan Pemda Luwu Timur mengambil sikap merespons dan menjembatani keluhan masyarakatnya. Sebab sejak aksi berlangsung, DPRD dan Pemda disebut bungkam sehingga menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat.

Andi Karman meyakini, bila pemerintah bereaksi maka PT Vale dinilai tak bisa berbuat apa-apa sebab pada dasarnya segala perjanjian dan kontrak perusahaan atas izin pemerintah. Namun mirisnya kata dia adalah adanya pembuatan Peraturan Pemerintah Darah (Perda) yang akan mengatur terkait pengelolaan dana CSR tersebut.

“Sementara setahu kami itu kan tidak bisa masuk ke pemerintah karena itu hak perusahaan. Kasihan kami masyarat adat wongcili yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat. DPRD harusnya mediasi kami dengan pihak perusahaan. Perjuangan akan terus berlanjut hingga ada titik temu,” imbuh dia. (*)

  • Bagikan