Usia Petugas Pemilu Maksimal 50 Tahun

  • Bagikan
ILUSTRASI

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan Pemilu 2024 berlangsung lebih baik dari pemilu sebelumnya. Penyelenggara menggodok sejumlah aturan baru, di antaranya, pembatasan usia petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hingga memangkas durasi masa kampanye.

KPU akan membatasi usia petugas Pemilu maksimal 50 tahun. Batasan usia bakal berlaku bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Alasan batasan usia ini diterapkan karena belajar dari banyaknya kasus meninggal petugas penyelenggara pada Pemilu 2019 lalu. Kala itu, ada ratusan penyelenggara pemilu yang meninggal dunia diduga akibat beban kerja yang berat serta memiliki penyakit komorbid. Berdasarkan data, sebanyak 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit pada Pemilu 2019 lalu.

KPU juga akan menaikkan honor petugas KPPS menjadi tiga kali lipat, menjadi Rp1,5 juta dari yang sebelumnya Rp500 ribu. Honor tersebut dinaikkan dengan pertimbangan menyeimbangkan antara beban kerja dan upah yang diterima.

KPU secara total menganggarkan sekitar Rp29,7 triliun untuk honor petugas ad hoc pemungutan suara. Angka itu hanya sebagian dari kebutuhan anggaran untuk badan ad hoc. Rinciannya, total pembentukan badan ad hoc sebesar Rp71,5 miliar sedangkan operasional kerja badan ad hoc sebesar Rp4,6 triliun.

Selain itu, KPU berharap dapat menarik minat masyarakat untuk berkontribusi dan berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu yang berdampak pada kualitas dan kuantitas calon badan ad hoc.

Koordinator Hubungan Masyarakat, Data Informasi, dan Hubungan Lembaga, Komisi Pemilihan Umum Sulaesi Selatan, Uslimin mengatakan sejauh ini pihaknya sudah mulai mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti Pemilu 2019 lalu, khususnya memberikan batas umur untuk penyelenggara ad hoc.

“KPU RI sudah merilis pengetatan usia penyelenggara ad hoc, yakni tidak boleh lebih dari 50 tahun,” kata Uslimin, Kamis (2/6/2022).

Menurut dia, KPU ingin memastikan para penyelenggara ad hoc pemilu sehat secara jasmani karena faktor penyebabnya meninggal dunia akibat kelelahan dan memiliki riwayat penyakit. Itu sebabnya, alon penyelenggara ad hoc, diharapkan tidak mempunyai riwayat penyakit akut.

Uslimin menyebutkan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung 2020 lalu, seluruh calon ad hoc harus menyertai surat keterangan sehat dari rumah sakit.

“Harus memiliki surat keterangan berbadan sehat. Pada rekrutmen ad hoc pada pemilihan tahun 2020, setiap calon wajib menjalani pemeriksaan kesehatan di tempat yang ditunjuk oleh KPU,” ujarnya.

Penunjukan tempat pemeriksaan kesehatan tersebut untuk mengantisipasi jangan sampai ada yang ingin menjadi penyelenggara pemilu dan melakukan manipulasi keterangan sehat.

“Yang mengeluarkan suket itu fasilitas kesehatan yang direkomendasi KPU. Dan ada nomor registrasi pendaftaran pemeriksaan kesehatannya,” jelasnya.

Ketua KPU Kota Makassar, Farid Wajdi mengatakan pihaknya saat ini masih menunggu kebijakan dari KPU RI mengenai regulasi perekrutan penyelenggara pemilu. Pada 2019, tercatat tujuh orang ad hoc yang meninggal dunia di Kota Makassar.

“Kami masih menunggu kebijakan teknis terkait dengan klasifikasi calon penyelenggara pemilu,” kata Farid.

Dirinya mendorong anak-anak milenial bisa mengambil peran sebagai penyelenggara pemilu. “Jadi mereka tidak sekadar menjadi peserta tapi turut sebagai penyelenggara,” imbuh dia.

Mantan komisioner KPU Kota Makassar, Nurmal Idrus mengatakan yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu 2024 nanti harus menyederhanakan perhitungan, karena penyebab meninggalnya pepenyelenggara ad hoc karena kelelahan saat penghitungan suara.

“KPU harus menyederhanakan sistem perhitungannya supaya ini bisa menjadi lebih ringan untuk penyelenggara pemilu dan harus ada upaya itu, ini bisa diatur dalam PKPU,” kata Nurmal.

“Teman-teman KPU harus memikirkan menyederhanakan perhitungan di tingkat TPS, misalnya bagaimana menyederhanakan formulir karena yang menyita tenaga perpidahan perhitungan dari formulir ke formulir, plano yang besar ke formulir C dan ini sangat membuat teman-teman kelelahan,” lanjutnya.

Selanjutnya KPU dalam perekrutan di tingkat KPPS bisa lebih selektif khususnya membatasi usia calon penyelenggara di tingkat bawah.

Nurmal juga menyebutkan setelah penyempurnaan perhitungan dan batas usia, penyelenggara juga harus diberikan asupan vitamin.

“Kemarin anggaran untuk makan minum dua kali, tapi harus ada tambahan asupan vitamin dengan menggunakan dana daerah jika APBN tidak bisa, kalau masih menggunakan perhitungan seperti biasa,” ujar dia.

Adapun, rekam jejak medis harus menjadi pertimbangan. Tapi, kata Nurmal, hal-hal ini dilakukan sudah hampir pasti kurang yang mendatar karena sumber daya manusia di tingkat bawah sangat sedikit ingin menjadi penyelenggaraan pemilu.

“Karena TPS itu mencakup RW (rukun warga) jadi harus ada solusi, apakah check up kesehatan itu menggunakan APBN, karena kalau calon melakukan check up pastinya mahal. Jadi idealnya harus ada check up khususnya jantung dan negara harus tanggung khususnya yang sudah lolos,” ujar dia.

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan penyelenggara mesti melihat pemilu sebagai proses belajar. “Cukuplah pelajaran yang lalu dari tumbangnya banyak penyelenggara, terutama di tingkat ad hoc,” kata dia.

Dirinya juga menyebutkan penyelenggara mesti merapikan sistem, prosedur rekrutmen dan beban kerja penyelenggara. “Beban kerja penyelenggara mesti ditinjau ulang, menyesuaikan dengan keserentakan agenda pemilu,” imbuh Luhur. (*)

  • Bagikan