Opini : Algoritma Pemilihan Presiden

  • Bagikan
Fahri Badina Nur (Mahasiswa Pascasarjana Paramadina Jakarta)

Oleh Fahri Badina Nur (Mahasiswa Pascasarjana Paramadina Jakarta)

Suhu politik pemilihan presiden sudah mulai panas, penulis melihat itu sebagai pertanda genderang perang narasi, wacana, opini, ujuaran kebencian akan segera dimulai. Tidak menutup kemungkinan pula akan terjadi gesekan fisik akibat perbedaan pilihan calon presiden.

Pemilihan presiden masih sangat premature untuk dibahas, energi bangsa akan fokus dan habis hanya untuk membahas sesuatu yang masih cukup jauh. Masih banyak kebijakan yang perlu kita kawal dan harapkan dari bapak presiden Joko Widodo.

Dari berbagai hasil survei, kita hanya dusuguhkan grafik elektabilitas semata tanpa berikut unsur dan alasan penting lainnya seperti integritas, kapabilitas dan kualitas calon yang akan kita pilih. Bukan semata elektabilitas (ketertarikan), Karena jika yang dimiliki hanya elektebilitas karena alasan followers di dunia maya misalnya, sebagai pemilih yang baik tentu tidak memilihnya.

Selain itu, kita akan dihadapkan dengan potensi polarisasi besar-besaran yang mengancam kesatuan dan persatuan masyarakat. Kita bisa berkaca dari pemilihan presiden sebelumnya (2019), ada banyak catatan proses pilpres yang dapat kita ambil pelajaran, juga sebagai bahan evaluasi untuk mengupayakan perbaikan dan kesuksesan pemilu yang akan datang.

Isu utama yang patut diwaspadai adalah isu keagamaan dan politisasi agama. Ada banyak cerita dan fenomena politisasi agama yang terekam dalam memori kita pada pemilihan presiden sebelumnya, seperti perdebatan masyarakat yang terjebak pada perdebatan agama yang sangat sensitif dan cenderung provakatif. Akibatnya, keakraban masyarakat terhenti dan dibatasi oleh pilihan masing-masing. Polarisasi yang kebablasan seperi ini sangat tidak baik buat ajang pesta demokrasi rakyat yang salah satu fungsinya berbunyi dalam UU No 12 tahun 2003 untuk menciptakan pemerintah yang kuat. Polarisasi berpotensi menciptakan sebaliknya, melemahkan pemerintahan. Bahaya polarisasi bahkan sampai pada rumah tangga, seperti yang diberitakan secara nasional oleh media BBC News terjadi kasus yang kabarnya pasangan suami istri yang pisah ranjang akibat perdebatan dan perbedaan pilihan calon presiden.

Jelas, bahwa politisasi agama dalam hal apapun termasuk kontestasi politik bukanlah Langkah yang baik dan jauh dari kata benar sehingga tidak ada jalan lain selain melawan segala bentuk gerakan yang mengarah pada politisasi agama. Penulis sepakat dengan Andrew Wilsun dalam Bukunya disebutkan ‘’ Bahwa tumbuh berkembangnya agama dalam suatu negara bukan disebabkan oleh esensi dari nilai kereligiusannya, melainkan oleh pemanfaatan nama atau simbol agama tersebut untuk kepentingan politik dan bisnis’’.

Politisasi agama menjadi senjata paling ampuh untuk melakukan polarisasi masyarakat. Karena agama datangnya dari dua hal, luar dan dalam. Sederhanya jika agama sesorang diusik, dia akan membela dengan cara apapun bahkan rela mati demi agamanya, sekalipun bukan orang yang taat beragama. Hal ini sudah diungkapkan oleh seorang Filsuf Muslim Ibnu Rusyid ‘’ Jika ingin Menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama ‘’.

Pada kasus lain, kita masih teringat banyaknya angka kematian para petugas penyelenggara pemilu yang meningagl dunia. Menurut Kementerian Kesehatan mencatat 455 kasus kematian petugas KPPS tahun 2019. Angka ini jauh meningkat dibanding pemilu sebelumnya (2014), kasus kematian diketahui sebanyak 144 petugas KPPS. Ada banyak data analisa dan pendapat para ahli terkait ini. Terlepas dari itu, tentu kita tidak menginginkan hal serupa terjadi bukan?. Ini menjadi catatan besar pemilu kemarin. Karena bagaimanapun kemanusiaan adalah hal yang utama.

Untuk mengurai benang kusut itu, Politisasi Agama misalnya, menurut Masykuri Abdillah; ‘’ Agama seharusnya dijadikan legitimasi ‘’, dalam artian penggunaan agama sebagai penguatan pemikiran dan Tindakan seseorang atau kelompok yang bisa menyasar ke semua lini seperti kebijakan, Gerakan politik, maupun aspirasi. Pelibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tidak mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama, sehingga pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA. Karena Yang kasihan adalah pendukung yang mendukung sepenuh hati, jiwa dan raga bahkan sampai membawa-bawa iman, padahal politik berbicara kepentingan.

Terkait kematian petugas KPPS, menurut pendapat ahli, kematian diakibatkan petugas KPPS dipaksa bekerja keras diluar batas kemapuan manusia, karena mereka harus dengan cepat menuntaskan semua surat suara yg tercoblos. Agaknya hal semacam ini bisa dicari penyelesainnya.

Algoritma pemilihan presiden yang perlu diantisipasi seperti yang penulis tulis adalah algoritma yang seharusnya bisa kita minimalisir bahkan dihilangkan agar terciptaya algoritma pemilihan presiden yang ideal. Semua ini tidak lain demi terciptanya pilpres yang sukses dan demokratis tentunya. Semua ini bisa kita capai asal semua elemen dapat Bersatu bahwa kepentingan masyarakat di atas kepentingan segalanya dan menghadirkan pemimpin yang memiliki kualifikasi yang baik adalah harapan kita semua. Tidak hanya itu, lebih jauh, dampak yang dihasilkan adalah apa yang kita cita-citakan Bersama yaitu terciptanya Indonesia yang adil, maju dan sejahtera. (*)

  • Bagikan