JAKARTA, BACAPESAN.COM – Pencemaran timbel, unsur kimia untuk campuran bensin, bahan dasar baterai, dan bahan pewarna menyebabkan anak-anak keracunan sehingga bisa merusak sistem syaraf, organ tubuh hingga kematian.
Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2020 menunjukkan sepertiga anak di dunia atau 800 juta anak di dunia mengalami keracunan karena timbel. Artinya satu dari 3 anak memiliki kadar timbel dalam darah sebesar 5 mikrogram per desiliter. WHO telah menyatakan tidak ada kadar timbal dalam darah yang aman bagi anak.
Laporan yang sama mengestimasikan 8 juta anak di Indonesia menghadapi bahaya jangka panjang dari keracunan timbel. Laporan berjudul “Kenyataan yang “Tercemar”: Rusaknya Satu Generasi Potensial Masa Depan Akibat Paparan Polusi Timbel” menyajikan analisis terhadap paparan timbel pada anak. Penelitian tentang kadar timbel dalam darah anak yang diangkat dalam laporan ini telah dipublikasikan juga dalam jurnal Environmental Health Perspectives.
Laporan tersebut menjelaskan timbel bersifat neurotoksin yang menyebabkan kerusakan pada otak anak, dan kerusakan ini tidak dapat diperbaiki. Spesialis Lingkungan dan Aksi Iklim UNICEF Indonesia, Aryanie Amellina menjelaskan selain kerusakan syaraf, racun timbel juga menyebabkan kerusakan kognitif, penyakit kanker, gangguan ginjal, dan kematian. “Anak-anak di bawah usia 5 tahun berada pada risiko terbesar menderita kerugian seumur hidup,” kata Aryanie dalam Webinar berjudul Bahaya Timbel Mengintai Anak yang digelar AJI Indonesia bekerja sama dengan UNICEF, Selasa, 21 Juni 2022.
Menurut Aryanie sumber utama pencemaran timbel berasal dari polusi udara, air, tanah, daur ulang aki bekas, dan penggunaan cat dekoratif bertimbel. Nexus3 dan International Pollutants Elimination Network melaporkan 88 dari 120 sampel cat untuk rumah tangga dan industri yang diambil pada 2020 dan 2021 merupakan cat bertimbel yang mengandung konsentrasi timbel di atas 90 ppm, padahal teknologi pengganti timbel dalam cat sudah ada dan sudah digunakan dalam cat dekoratif lainnya.
Cat dekoratif ini banyak digunakan di sekolah maupun taman bermain anak. Timbel dalam bentuk serpihan cat yang ukurannya renik ini bisa masuk ke dalam tubuh anak-anak yang suka bermain dan memasukkan tangan ke mulut.
Paparan timbel yang membawa dampak serius ini membuat UNICEF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk memantau timbel dalam tanah, air, dan udara. Selain itu, pemerintah juga perlu memantau timbel dalam darah anak-anak dan memperkuat kapasitas sektor kesehatan dalam manajemen klinis.
Pemerintah juga harus memastikan pendaur ulang aki bekas mematuhi kaidah lingkungan, memulihkan lokasi yang terkontaminasi timbel, dan menerapkan batasan emisi untuk daur ulang aki bekas. Serta menerapkan batas wajib kandungan timbel dalam cat.
Direktur organisasi non-pemerintah yang fokus pada pengurangan dampak pencemaran beracun terhadap lingkungan dan kesehatan manusia Yayasan Pure Earth Indonesia, Budi Susilorini, menjelaskan Pure Earth memberikan dukungan pada kajian lahan tercemar timbel di Pulau Jawa dan Sumatera yang dilakukan oleh Institut Teknologi Sepuluh November atau ITS pada November 2021 hingga Februari 2022.
Kajian itu mengidentifikasi 95 lahan tercemar timbel yang tersebar di 11 provinsi. Sumber pencemarannya adalah bisnis sektor formal dan informal. Aki bekas berasal dari kegiatan industri dan rumah tangga yang dikumpulkan dan diangkut oleh pelaku usaha berizin daan tidak berizin untuk didaur ulang.
Kajian itu juga menemukan rantai pasokan daur ulang aki bekas dari Sumatera ke Jawa. “Bisnis peleburan aki sangat menggiurkan, namun juga berisiko mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dikelola dengan baik,” kata Budi.
Pure Earth Indonesia telah melaporkan hasil kajian itu kepada KLHK. Pure Earth Indonesia mengharapkan agar pemerintah pusat memberikan aturan yang jelas dan panduan kepada setiap pemerintah daerah dan pengelola kegiatan yang menghasilkan limbah aki bekas, seperti pembangkit listrik tenaga surya, agar mengelola aki bekas sesuai standar lingkungan. Selain itu, pemerintah juga perlu menghentikan paparan debu timbel dari lahan tercemar yang berdampak terhadap Kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi.
Dokter Spesialis Anak dan Anggota UKK Neurologi IDAI, Setyo Handryastuti menjelaskan daya rusak racun timbel terhadap anak-anak. Ibu hamil, ibu yang sedang menyusui, bayi sampai anak berusia lima tahun paling rentan terpapar racun timbel.
Menurut Handry, kerusakan syaraf bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung menganggu perkembangan otak sejak masa kehamilan. Dalam fase ini, bayi yang lahir dapat mengalami keterlambatan perkembangan pada semua domain perkembangan. Dampak selanjutnya dapat mengganggu proses belajar anak, kognitif, dan memori otak.
Perkembangan otak manusia dimulai sejak usia kehamilan tiga hingga empat minggu, berlangsung pesat sampai usia 2 hingga lima tahun. Intervensi atau penanganan sulit dilakukan bila keracunan timbel itu menimpa ibu hamil.
Balita menurut Handry paling bersiko karena mereka belum tahu bahaya racun itu. “Ketika bermain, balita tidak tahu mana yang kotor dan tidak. Tidak tahu mainan mengandung zat berbahaya,” kata Handry.
Kerusakan organ tubuh secara tidak langsung karena paparan timbel mengakibatkan hipertensi, gangguan fungsi ginjal, dan kelahiran bayi secara prematur. Dalam kasus yang akut dan berat, anak bisa mengalami hilang kesadaran karena terpapar racun timbel dalam dosis tinggi. “Bisa sebabkan halusinasi, gangguan kesehatan mental. Anak-anak tidak sadarkan diri atau koma dan bisa menyebabkan kematian,” kata anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.
Efek jangka panjang dari keracunan pada timbel menyebabkan gangguan kemampuan berbahasa, kecepatan gerak, perilaku anti-sosial, dan agresif. Pada paparan kronik, timbel belum ada bukti ilmiah yang menyebutkan terapi apa yang paling efektif untuk mengatasi keracunan timbel pada anak, sehingga dampak yang ditimbulkan bisa menetap.
Dia menambahkan bahwa meskipun ada informasi dari riset internasional, selama ini di Indonesia belum ada riset yang menyimpulkan ambang batas timbel dalam darah yang bisa menimbulkan kerusakan saraf. Handry menyarankan orang tua harus meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya racun timbel, pastikan lingkungan yang aman, mainan yang aman dari timbel serta anak-anak harus rajin mencuci tangan, untuk meminimalkan kontaminasi timbel yang berasal dari debu, kotoran, dan mainan.
Selain itu, perlu aturan yang ketat ihwal penggunaan timbel untuk mengurangi dampak kesehatan pada anak. Dia mencontohkan Amerika Serikat punya aturan yang ketat sehingga dampak kesehatan dari penggunaan timbel bisa ditekan.
Ketua Kelompok Kerja Penanggulangan Direktorat Pemulihan Lahan Terkontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 dan Non B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mutiara F. Siadari menyebutkan pemerintah telah melakukan identifikasi dan inventarisasi lahan terkontaminasi limbah B3 yang tersebar di lima pulau besar. Selanjutnya data hasil identifikasi dan inventarisasi digunakan untuk menyusun lokasi prioritas pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 oleh Pemerintah atau disebut National Priority List (NPL).
Temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan sejak tahun 1978 terdapat lokasi industri peleburan aki bekas ilegal di Desa Cinangka Kabupaten Bogor. Pembuangan limbah peleburan aki bekas diperkirakan mengkontaminasi tanah hampir di seluruh Desa Cinangka seluas 350 hektar. Kadar pencemaran timbel mencapai 400 ppm hingga 100.000 ppm berbasis riset Komite Penghapusan Bensin Bertimbel atau KPBB.
Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian terhadap temuan lahan terkontaminasi timbal, KLHK telah melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 termasuk limbah B3 timbel di beberapa lokasi di Indonesia meliputi di Kabupaten Jombang Jawa Timur, Tegal Jawa Tengah, dan Bogor Jawa Barat. Kabupaten Tegal dan Jombang menjadi bagian dari lokasi prioritas pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.
Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal misalnya, Kementerian melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 seluas 2.855meter persegi dengan mengangkat dan mengolah limbah B3 sebanyak 3.310,24 ton di fasilitas pengolahan limbah B3.
Selain itu, pemerintah melibatkan aparat kepolisian, Pemerintah Daerah, dan Ditjen Penegakan Hukum KLHK untuk melakukan pengawasan lingkungan. “Tidak mudah untuk menertibkan pelaku pencemaran yang melanggar aturan,” ujar Mutiara.
KLHK bekerjasama dengan UNICEF dan Pure Earth dalam pengurangan keracunan timbel pada anak di Indonesia. Melalui sosialisasi terutama bagi perempuan (ibu) dan generasi muda, Pemerintah juga berusaha mendorong perubahan mindset masyarakat guna mencegah risiko paparan bahaya limbah B3 dimulai dari skala terkecil, baik lingkungan tempat tinggal maupun skala keluarga untuk mengoptimalkan upaya pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3. Dalam hal ini, media berperan sebagai agen sosialisasi dan edukasi untuk turut mempersiapkan generasi yang paham dan peduli akan bahaya dan dampak limbah B3.
Ibu Mutiara dan pembicara lainnya mengajak media dan masyarakat untuk mendukung upaya mitigasi dampak timbel terhadap anak-anak, di antaranya melalui pemberitaan, dukungan advokasi, dan edukasi masyarakat.
(rls/*)