Adapun rencana tindak lanjut dari Dishub ialah melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Direktorat Angkutan Kemenhub/Dishub DKI Jakarta dalam hal penerbitan perizinan usaha. Menyampaikan teguran tertulis kepada pihak aplikasi (terkait izin), melaporkan secara tertulis kepada Kemenkominfo, dan melakukan sosialisasi secara terpadu di lapangan bersama Kepolisian, Dishub Kab/kota, dan BPTD.
“Kami meminta kabupaten/kota untuk mengkaji ini. Apa yang sudah kami paparkan secara teknis dipertemuan itu bisa ditindaklanjuti, itu juga harapannya dari pihak Polda. Karena kalau ini dibiarkan polisi juga bingung kalau mau tilang kalau melanggar, jadi simpang siur,” tandasnya.
Sementara itu, Pakar Transportasi UMI, Prof Lambang Basri Said menilai, regulasinya harus jelas terkait kendaraan, driver, operator, dan wilayah operasi.
“Mestinya itu ada dahulu regulasi, baru bisa beroperasi. Jangan selalu peraturan lahir dari fenomena. Tata kelola yang baik adalah peraturan itu lahir untuk menghindari fenomena yang jelek,” ujar Prof Lambang.
“Bajaj mestinya ada spot di wilayah tertentu. Kalau dia di perkotaan, maka dia berada di pinggiran. Kalau di zona padat penduduk, banyak orang menggunakan angkutan pribadi, maka itu tidak optimal secara keseluruhan. Tetapi secara individual tetap ada yang minati,” sambungnya.
Dalam perbandingan dengan kendaraan lain seperti pete-pete yang dapat mengangkut sepuluh orang, bajaj menggunakan terlalu banyak ruang jalan. Jika penggunaan bajaj menjadi terlalu marak, maka hal ini dapat menghambat pengembangan sistem layanan angkutan umum yang lebih baik terutama di kota.
“Jika bajaj bersentuhan dengan jalan provinsi atau nasional, sebaiknya hanya berhenti di situ dan tidak melintasinya,” saran Prof Lambang. (fajar online)