Menggali Kesejatian (13):Kosong itu Perlu

  • Bagikan

Oleh: Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis

KARENA saya kosong, jadinya saya diisi oleh banyak teman. Banyak respon tentang kekosongan ide tulisan saya sebelumnya. Ternyata menurut kawan, kekosongan itu adalah inti dari kesejatian. “Tidak ada pengisian tanpa kekosongan.” Seorang kawan jamaah, Mas Budi, mengatakan bahwa keterpenuhan itu dimulai dari kekosongan. Bang Hidayat menyebutnya kosong adalah pencarian Makna di depan yang Maha Mengisi.

Seorang Kyai terpandang, Dr. KH. Muhammad Faesal meyakinkan saya bahwa kosong itu bagian dari rasa. Kosong itu ibarat lelah, penat, atau capek. Jenis-jenis rasa itulah yang membuat kita ada. Kalau tidak pernah merasa kosong, artinya kita sudah tidak ada.

Seorang kawan, Dr. Kaswad, sama filosofisnya merespon bahwa sejatinya di alam raya ini tidak ada zat yang benar-benar kosong. Kekosongan itu adalah hakekat. Kekosongan itu adalah ciptaan Tuhan yang memiliki esensi, makna, dan hikmah. Jadinya, semua yang kosong itu bukan kosong an sich, apakah itu kosong iman, otak kosong, kertas kosong, botol kosong, kelas kosong, kosong-kosong, bahkan kotak kosong.

Jadi menurutnya ketika ada merasakan dirinya kosong, dia sejatinya sedang dalam proses pengisian. Menjadi kosong itu bagian dari hukum alam. Tidak ada orang hidupnya selalu terisi, karena kapan itu terjadi, maka sisi-sisi hidupnya akan tumpah.

Bahkan menurut kawan lain, kita perlu memiliki fase kekosongan hidup karena ruang gerak bisa tercipta dari kekosongan itu. Ada motivator pernah mengatakan, sediakan waktu beberapa menit dalam keseharian kita untuk mengosongkan pikiran, karena ketercerahan bisa dimulai dari pikiran yang kosong. Sahabat saya, Prof. Barsih, menyebut bahwa menjadi kosong sebagai proses mencari makna di tengah gegap gempita absurditas kehidupan.

Akhirnya saya belajar, bahwa seakan kekosongan itu adalah kebuntuan padahal itu adalah awal dari berjalannya aliran.

Seakan kekosongan itu adalah kebingungan padahal awal dari kejelasan. Seakan kekosongan itu adalah ketiadaan padahal awal dari keberadaan.

Akhirnya saya merenung, kita perlu mengosongkan pikiran yang bikin penat untuk mengisinya dengan pikiran yang segar. Kita perlu mengosongkan diri dari memori buruk untuk mengisinya dengan lakon yang akan menjadi jejak manis.

Kita perlu selalu belajar mengosongkan jiwa dari segala yang berbau prasangka buruk dan mengisinya dengan jiwa yang terbiasa berpikir positif. Termasuk perlunya saya mengosongkan dompet siapa tahu ada yang tergerak untuk mengisinya.

  • Bagikan

Exit mobile version