JAKARTA, BACAPESAN– Dalam satu pekan terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat +2,05 persen ke level 6.815 dengan catatan inflow di pasar regular sebesar Rp300,4 miliar.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Imam Gunadi menegaskan penguatan IHSG dan catatan inflow ini dipengaruhi oleh sejumlah sentimen dari global maupun domestik.
Imam menyebutkan ada 6 sentimen global yang memengaruhi pergerakan IHSG pada 28 April-2 Mei 2025 lalu. Pertama, US Job Openings, NPF, & CB Consumer Confidence. Job Openings turun 288.000 menjadi 7,192 juta (terendah dalam 6 bulan, jauh di bawah ekspektasi pasar 7,48 juta).
Lalu, penurunan data lowongan pekerjaan ini menunjukkan bahwa perusahaan selektif dan berhati-hati melakukan rekrutmen tenaga kerja karena masalah ketidakpastian ekonomi.
“Penurunan tajam di sektor transportasi, konstruksi, dan akomodasi mencerminkan dampak langsung dari perlambatan konsumsi dan investasi. Sedangkan data NPF menunjukkan ekonomi Amerika Serikat mencatat penambahan 177.000 pekerjaan, melambat dibanding bulan sebelumnya yang direvisi turun menjadi 185.000,” kata Imam dalam analisis yang dilansir dari JawaPos.com, Senin 5 Mei.
Lebih lanjut, dia membeberkan bahwa data ini juga berkorelasi positif dengan CB Consumer Confidence yang berada di angka 86,0 pada bulan April 2025, turun dari Maret 2025 di angka 93,9, serta di bawah konsensus 87,5.
- Initial Jobless Claim AS.
Tanda pelemahan ekonomi AS juga datang dari data tenaga kerja lainnya yaitu Initial Jobless Claims yang naik sebanyak 18.000 menjadi 241.000 pada minggu berakhir 26 April 2025. Level ini merupakan level tertinggi sejak Februari dan jauh melampaui konsensus yang berada di angka 224.000.
- Personal Consumption Expenditure (PCE) April 2025.
Analisis Data PCE April 2025 menunjukkan bahwa inflasi berada dalam tren menurun, bahkan lebih lemah dari ekspektasi pasar pada beberapa komponen penting. Ini memperkuat pandangan bahwa kebijakan moneter berpotensi melonggar atau dovish.
- US ISM Manufacturing PMI.
Data ISM Manufacturing April 2025 menunjukkan bahwa sektor manufaktur Amerika Serikat masih berada dalam fase kontraksi. Indeks utama Manufacturing PMI tercatat 48,7, turun dari 49,0 pada Maret, yang menandai kontraksi dua bulan berturut-turut, meskipun laju penurunan terjadi sedikit lebih cepat.
Imam menjelaskan penyebab utama penurunan PMI adalah anjloknya indeks produksi sebesar -4,3 poin ke 44,0, yang menunjukkan melemahnya output secara signifikan. Meskipun pesanan baru (New Orders) naik 2 poin ke 47,2, indeks ini masih berada di bawah 50, menandakan bahwa permintaan belum cukup kuat untuk mendukung ekspansi.
Ekspor juga mengalami tekanan, dengan New Export Orders merosot -6,5 poin ke 43,1, mengindikasikan bahwa hambatan perdagangan dan ketidakpastian global turut membebani sektor ini.
- United States GDP Growth Rate (Adv).
Pertumbuhan ekonomi AS terkontraksi 0,3 persen (yoy) pada kuartal pertama 2025. Angka ini merupakan kontraksi pertama sejak Kuartal I-2022. Angka ini jauh di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,3 persen.
Lonjakan impor sebesar 41,3 persen berkontribusi besar terhadap perlambatan ini, seiring dengan aksi borong dari pelaku bisnis dan konsumen yang mengantisipasi kenaikan harga akibat rangkaian pengumuman tarif reciprocal Trump.
- NBS Manufacturing PMI.
Eskalasi perang dagang tidak hanya mempengaruhi manufaktur AS, namun juga memengaruhi manufaktur Tiongkok atau China. NBS Manufacturing PMI April 2025 menunjukkan penurunan signifikan dalam aktivitas industri, menandai kontraksi pertama sejak Januari dan penurunan terdalam sejak Desember 2023.
PMI turun ke 49.0 dari 50.5 di Maret, di bawah konsensus 49.8, masuk zona kontraksi pertama sejak Januari 2025. Penurunan paling signifikan dalam data PMI Manufaktur Tiongkok April 2025 terlihat pada indikator new export orders, yang anjlok ke 44,7 dari 49,0 pada bulan sebelumnya, ini juga merupakan level terendah dalam sebelas bulan terakhir.
“Melemahnya permintaan global, dipicu oleh ketegangan dagang dengan AS, mendorong penurunan produksi dan pembelian bahan baku, sehingga berdampak luas ke seluruh sektor industri khususnya manufaktur,” beber Imam.
Sementara itu dari domestik Imam menyebutkan sentimen Indonesia Manufacturing PMI & Indonesia Inflation Rate. Menurut Imam, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi signifikan pada April 2025, dengan PMI turun ke 46.7 dari 52.4 di bulan sebelumnya, ini merupakan penurunan terdalam sejak Agustus 2021 ketika Covid 19 varian Delta melanda.
“Penurunan ini mencerminkan pelemahan menyeluruh, ditandai dengan merosotnya output, pesanan baru, dan permintaan ekspor. Sektor tenaga kerja juga terdampak, dengan penurunan jumlah pekerja untuk pertama kalinya dalam lima bulan,” ujarnya.
Terkait inflasi, pada April 2025 inflasi Indonesia mengalami lonjakan menjadi 1,95 persen (yoy), tertinggi dalam delapan bulan terakhir. Peningkatan ini mencerminkan normalisasi harga setelah periode deflasi yang sebelumnya dipicu oleh kebijakan subsidi tarif listrik.
“Inflasi inti juga naik ke level 2,50 persen. Secara keseluruhan, data inflasi menggambarkan membaiknya daya beli konsumen di tengah tekanan dan perlambatan ekonomi global, hal ini pun disambut baik oleh pasar dengan menguatnya IHSG sebesar +2,05,” tutupnya. (JP)