Ojol Makassar, Gowa, dan Maros Tolak Penurunan Komisi ke 10 Persen

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN – Ratusan pengemudi ojek online (ojol) dari wilayah Makassar, Gowa, dan Maros yang tergabung dalam berbagai komunitas secara tegas menolak rencana penurunan komisi dari 20 persen menjadi 10 persen. Mereka menilai skema 20 persen masih relevan dan memberikan perlindungan serta keberlangsungan penghasilan yang layak bagi mitra.

Penolakan ini merespons usulan dari Kementerian Perhubungan dan Komisi V DPR RI yang mendorong penurunan komisi driver ojol menjadi 10 persen.

“Skema 20 persen ini disertai dengan manfaat konkret seperti asuransi, bantuan darurat 24 jam, GrabBenefits, dan pusat pengaduan. Kalau ini diganti tanpa perhitungan matang, kami yang menggantungkan hidup dari jalanan yang akan paling terdampak,” ujar Budi Yaya, Ketua Komunitas URC Makassar Gowa Maros.

Yohanes, Ketua Grab Bike Sektor Manggala, menyoroti pentingnya menjaga keberlanjutan operasional platform. Menurutnya, pemangkasan komisi tanpa strategi jangka panjang bisa memicu penurunan layanan dan mengancam penghasilan driver.

“Tanpa promo dan insentif, order sepi. Kalau aplikator tidak sehat, driver juga kena imbasnya,” katanya.

Sementara itu, Nurmila Burhan dari Grab Gowa Community mengingatkan bahwa aplikator juga menjadi penggerak ekonomi mikro.

“Banyak UMKM menggantungkan distribusi pada layanan ojol. Jangan ambil keputusan gegabah hanya karena tekanan dari pihak yang tidak paham kondisi lapangan,” tegasnya.

Arif Budianto dari Grab Hero Community menilai bahwa skema potongan 20 persen masih wajar, selama aplikator tetap memberikan benefit nyata seperti pelatihan, promosi, dan perlindungan mitra.

“Kalau perusahaan ditekan dan rugi, yang pertama kali kena imbas pasti kami,” ujarnya.

Senada, Sultan, Ketua Komunitas Sapu Rata Kota Desa, meminta agar suara mitra aktif yang benar-benar bekerja setiap hari menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan.

“Yang aktif di jalan harus jadi prioritas, bukan mereka yang sudah tidak aktif tapi masih ingin atur sistem,” tegasnya.

Para komunitas ini juga menyatakan tidak ikut serta dalam aksi turun ke jalan pada 21 Juli 2025 yang digagas organisasi lain seperti Garda. Mereka menilai aksi tersebut tidak sejalan dengan aspirasi dan pendekatan damai yang mereka yakini.

“Kami tidak menolak perubahan, tapi perubahan harus memperhatikan keberlangsungan semua pihak: driver, aplikator, dan konsumen,” ujar Budi Yaya.

Mereka berharap Kementerian Perhubungan dan DPR RI lebih banyak mendengar langsung suara mitra aktif di lapangan, dan merumuskan kebijakan yang tidak merusak ekosistem yang telah berjalan dengan baik.

Menurut mereka, komisi bukan hanya soal potongan pendapatan, tapi juga menyangkut keberlangsungan layanan, kualitas aplikasi, serta jaminan bagi mitra dan konsumen.

“Jaga keseimbangan. Jangan rusak sistem yang sudah menopang kehidupan jutaan orang hanya karena tekanan satu sisi,” tutup Nurmila Burhan. (Hikma)

  • Bagikan

Exit mobile version