PT Vale Dapat Dilapor Pidana

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Aktivitas tambang PT Vale Indonesia Tbk di Kabupaten Luwu Timur, terus menuai sorotan.

Selain organisasi pegiat lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel), akademisi pun turut angkat suara menyoroti perusahaan asal Brasil ini.

Ahli lingkungan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Profesor Anwar Daud mengatakan, dalam posisi tambang, limbah tambang nikel seperti yang dikelolah oleh PT Vale sangat berbahaya sebab limbahnya mengandung campuran logam. Khususnya limbah logam Kromium (Cr) yang mengandung unsur logam berat beracun bagi manusia dan dapat menimbulkan efek toksik.

“Kalau itu masuk ke dalam air tanah atau air permukaan lalu dimanfaatkan masyarakat itu akan berdampak dan sangat berbahaya pada kesehatan,” kata Anwar.

Menurut kajiannya, tambang di Indonesia termasuk PT Vale masih sangat jauh dari kata penerapan aturan seperti yang diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup.

Analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL yang mengatur mulai dari awal tambang itu akan dimulai, kemudian proses berjalannya tambang hingga selesainya penambangan secara regulasi disebut sudah cukup jelas. Namun ini juga yang sering jadi pokok masalah dalam aktivitas tambang.

Reklamasi dan penghijauan kembali area bekas galian tambang seringkali diabaikan. Sementara dalam aturan seharunya tanah yang digali itu digunakan kembali untuk menutup lubang-lubang bekas galian.

“Hampir semua tambang bermasalah di situ setelah mengambil mineralnya, kalau di PT Vale itukan nikel. Biasa dibiarkan begitu saja padahal harusnya direklamasi. Tanah yang pernah dikeruk itu sebenarnya dipakai untuk ditimbun kembali lalu ditanami pepohonan. Memang di Vale itu kebanyakan meninggalkan kubangan,” imbuh Anwar.

Deri segi pemulihan lingkungan seperti penghijauan disebut memang sedikit sulit sebab, kandungan tanah bekas galian tambang itu sudah tidak baik lagi. Kandungan di dalam tanah tersebut sudah tercemar.

“Limbahnya bersifat asam. Jadi kubangan-kubangan itu tidak bisa juga tumbuh pohon di situ,” kata Anwar.
Anwar menjelaskan, secara penerapan regulasi penegakan hukum di Sulsel belum terlaksana. Sementara dalam Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 94 dan seterusnya aturan terkait denda baik itu perdata maupun pidananya sangat jelas.

Untuk denda sendiri mulai dari Rp3-10 miliar. Meskipun itu masih sangat kecil jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari operasi tambangnya.

“Termasuk yang menelantarkan kubangan tambang itu jelas jeratan hukumnya. Regulasi atau aturan hukumnya sudah bagus, yang masalah di sini penegakannya. Utamanya dalam pengawasan yang tidak dilaksanakan dengan baik,” sebut dia.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan, hasil kajian Walhi Sulsel menemukan dua pelanggaran hukum yang dilakukan PT Vale selama beroperasi di Kabupaten Luwu Timur.

Perusahaan tersebut belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang nikel yang berdampak bagi masyarakat sekitar lokasi konsesi.

Aturan yang dilanggar menurut Walhi Sulsel yaitu mengenai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).

“Walhi menilai PT Vale kurang peduli terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di lingkar tambang itu,” ujar Amin.

Dalam undang-undang lingkungan hidup disebut sudah sangat jelas mengatur bahwa setiap badan usaha wajib melindungi wilayah NKRI dari kerusakan lingkungan hidup, juga wajib menjamin keselamatan, kesehatan, termasuk menjamin kelangsungan mahluk hidup serta kelestarian ekosistem yang ada di dalamnya.

“Itu aturan atau Pasal 3 Nomor 32 yang mewajibkan PT Vale melindungi lingkungan hidup dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, menjaga keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia sekitar area tambang serta menjamin keberlangsungan mahluk hidup. Maka ekosistem hutan yang di tambang PT Vale wajib dijaga dengan cara reklamasi pascatambang,” sebut Amin.

PT Vale yang sudah beroperasi selam 52 tahun itu disebut sangat wajib melakukan pemulihan lingkungan di wilayah tambang atau lokasi konsesi.

Kemudian terkait aturan mineral dan batu bara, setiap perusahaan atau PT Vale diwajibkan melakukan reklamasi pascatambang yang dilakukan. Adapun jika tidak dilakukan maka PT Vale dipastikan atau dikatakan melabrak undang-undang yang ada.

Selain aturan, masalah lain yang akan timbul atau dampak lain jika lokasi bekas tambang tidak dipulihkan maka akan berdampak pada ekosistem sekitar.

“Dari keterangan warga sekitar yang hidup di area sekitar tambang atau konsesi PT Vale, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah intim PT Vale itu saat ini tidak lagi mendapat dan mengakses air bersih. Air mereka menjadi keruh akibat dari pertambangan. Sehingga kami berpandangan kalau PT Vale ini memang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal yang hidup di tengah tengah tambang. Padahal itu wajib dilakukan,” ujarnya.

“Masalah lain yang akan ditimbulkan yaitu menganggu ekosistem danau yang ada disana. Ketika hutannya gundul akibat tambang maka akan mengancam keberlanjutan danau purba yang ada di sana. Saat ini danau Matano, volume airnya terjaga bukan karena airnya kurang tapi karena PT Vale membendung aliran danau Matano ke danau Mahalona. Jadi volume airnya tidak menurun. Coba dibuka pasti akan terjadi kekeringan. Itu yang kami temukan,” sambungnya.

Termasuk, kata Amin, akan mengancam populasi atau habitat satwa endemik maupun satwa-satwa lainnya yang ada di Luwu Timur tempatnya di Sorowako. Juga tidak ada lagi jenis-jenis pepohonan endemik yang tumbuh.

“Tidak ada lagi habitat flora dan fauna hutan Sorowako. Makanya harus dipulihkan. Dan tidak ada lagi ruang bagi masyarakat untuk melanjutkan hidupnya ke depan,” bebernya.

Walhi memprediksi apabila pemerintah tidak mengambil sikap maka kegiatan pascatambang akan sangat berdampak besar pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakay yang ada di Luwu Timur. PT Vale dipastikan suatu saat akan meninggalkan wilayah Luwu Timur jika kandungan nikel telah habis.

“Itu sudah pasti. Jadi PT Vale akan meninggalkan blok Sorowako tapi masyarakat lokal akan tetap tinggal di situ. Jadi bayangkan saja kalau masyarakat tinggal di situ dan pemerintah kita ada di situ maka beban kerusakan lingkungannya akan ditanggung oleh pemerintah. Sementara keuntungan dan hasil nikel yang ditambang PT Vale akan dinikmati dan dirasakan manfaatnya pemerintah luar negeri dan korporasi yang basisnya berada di luar negeri. Vale yang menikmati hasilnya, masyarakat dan pemerintah yang merasakan dampak atau menanggung bebannya,” ucap Amin.

Maka dari itu, Walhi Sulsel, kata Amin, terus mendesak pemerintah agar PT Vale yang sudah menikmati kekayaan alam Indonesia puluhan tahun segera ditindak dan dipaksa oleh pemerintah untuk menunaikan kewajibannya. Utamanya dalam pemulihan lingkungan. (*)

  • Bagikan