Fatmawati Hilal
Santriwati Alumni Ponpes DDI Mangkoso
MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Musibah yang menimpa santri Ponpes Tahfidzul Qur’an Al-Imam Ashim di Makassar tidak hanya merupakan suatu kejadian yang menyedihkan, tetapi juga menjadi panggilan bagi kita untuk melakukan refleksi mendalam terhadap paradigma pendidikan dan pembinaan santri di pondok pesantren.
Kasus serupa, seperti perkelahian sesama santri -mulai dari yang berakibat pendarahan sampai yang berujung maut, tidak hanya terjadi di lingkungan pondok pesantren, tapi diketahui terjadi di semua lembaga Pendidikan.
Kasus ini tentu menjadi sangat miris, oleh karena lembaga pendidikan diharapkan menjadi ujung tombak pembentukan karakter anak. Kasus ini tidak hanya mencerminkan kelemahan dalam sistem pembinaan yang ada, tetapi juga menjadi titik awal untuk menggali peluang-peluang baru dalam mengembangkan model pembinaan santri yang lebih berdaya dan berempati.
Dalam pandangan tradisional, pondok pesantren selalu dianggap sebagai lembaga yang mampu membentuk karakter dan spiritualitas yang kokoh pada santrinya. Namun, tragedi yang terjadi mengingatkan kita bahwa pendekatan yang statis tidak cukup menghadapi kompleksitas tantangan zaman yang terus berubah.
Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat mendalami makna dari tragedi tersebut dan menggunakan pengalaman pahit tersebut sebagai pendorong untuk transformasi positif dalam pembinaan santri.
Berkaca dari musibah yang dialami santri Tahfidz Al-Imam Ashim, sebagai salah seorang santriwati yang juga pernah melalui masa-masa pembentukan karakter di pesantren, penulis ingin mengurai berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya tragedi, mulai dari kurangnya pendekatan kesejahteraan mental hingga kurangnya pemahaman akan pentingnya pembinaan empati dan toleransi dalam komunitas santri. Sekaligus menawarkan solusi-solusi konkret dan inovatif untuk mengembangkan model pembinaan santri yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masa kini.
Dengan cara ini, kita tidak hanya akan mampu menghindari tragedi serupa di masa depan, tetapi juga mampu membangun pondok pesantren yang menjadi sumber kearifan dan empati bagi generasi penerus umat Islam. Mari bersama-sama menjadikan tragedi ini sebagai titik awal menuju perubahan yang lebih baik, menuju pembinaan santri yang lebih berdaya dan berempati.