PT Vale Abaikan 10 Suku Adat, CSR Rp50 Miliar Tidak Jelas?

  • Bagikan

MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Dana corporate social responsibility CSR PT Vale Indonesia Tbk menjadi sorotan masyarakat adat di Kabupaten Luwu Timur. Anggaran Rp50 miliar yang merupakan tanggung jawab sosial perusahaan nikel tersebut diklaim tak pernah dikenyam oleh masyarakat sekitar areal pertambangan.

Transparansi dana CSR teresebut disuarakan oleh 10 kelompok suku asli di Luwu Timur yang tanah adatnya menjadi bancakan tambang PT Vale. Mereka tergabung dalam Badan Pekerja Masyarakat Adat (BPMA) Luwu Timur. Mereka yakni suku To Karun Si’E, To Padoe, To Tambee, To Konde, To Timampu’u, To Pekaloa, To Turea, To Beau, To Weula, dan To Taipa.

Salah seorang tokoh adat Luwu Timur di Sorowako, Andi Karman mengatakan masyarakat adat saat ini terus berjuang bersama masyarakat lokal lainnya. Mereka menuntut kepada PT Vale karena merasa tidak mendapat hak-hak sosial yang merupakan kewajiban perusahaan asal Brasil tersebut.

Menurut Karman, perusahaan itu telah beroperasi di tanah leluhur mereka selama kurang lebih 52 tahun tak memberikan manfaat sama sekali bagi masyarakat sekitar. Termasuk peningkatan taraf hidup lebih sejahtera. Sementara wilayah yang dikelolah oleh PT Vale merupakan tanah adat mereka.

“Semua yang sudah ditambang PT Vale itu adalah tanah adat kami,” kata Karman saat dikonfirmasi, Minggu (20/3/2022).

Karman mengatakan, dalam pengelolaan tanah adat, seharusnya mereka mendapat prioritas. Faktanya, masyarakat adat yang pernah dipekerjakan oleh PT Vale terkesan terintimidasi dan tidak nyaman bekerja di perusahaan tersebut.

Parahnya, masyarakat adat yang bekerja di PT Vale bukan berstatus pekerja, melainkan tenaga kontrak. Kata dia, kebanyakan dari mereka telah diberhentikan atau dipecat dari perusahaan itu.

“Kami masyarakat adat yang sudah korban lahannya hanya jadi penonton dan tidak bisa berdaya. PT Vale hanya memperkaya dirinya,” beber dia.

Masyarakat adat berharap PT Vale mengeluarkan dana CSR sebagai tanggung jawab sosial kepada masyarakat adat sebesar 50 persen untuk dikelola secara langsung dan mandiri.

Termasuk masyarakat adat yang tergabung di BPMA meminta kepada PT Vale untuk transparan terkait penggunaan dan pelaksanaan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) sejak 2018.

“Juga kami meminta berdayakan kontraktor lokal dan melibatkan pribumi dalam rekrutmen tenaga kerja,” pinta Arman.

Sementara, salah seorang tokoh masyarakat adat To Karun Si’E, Hendrik Malaha mengatakan, dari operasi tambang PT Vale yang paling terdampak adalah masyarakat di wilayah sukunya.

“Anak suku kami yang mengalami dampak paling banyak. Kami punya lahan adat mulai dari PT Inco dulu yang sampai saat ini belum ada penyelesaian. Bayangkan sudah 50 tahun kami diperlakukan tidak adil,” ujar Hendrik.

Beberapa rumah warga di wilayah sukunya disebut sempat dipindahkan untuk pembuatan lokasi lapangan golf PT Vale. Termasuk, kata dia, lapangan terbang atau landasan bandara merupakan wilayah tanah adatnya yang sampai hari ini juga belum diselesaikan.

Bahkan, kata Hendrik, beberapa makan nenek moyang mereka ikut digusur untuk dijadikan wilayah tambang nikel milik PT Vale.

“Makam nenek moyang kami waktu digusur, tulang-tulang berserakan didorong saja masuk di dalam kubangan,” imbuh dia.

Sepuluh anak suku adat, kata Hendrik, meminta dana CSR dari tahun 2018 telah disepakati dalam MoU sebelumnya melalui BPMA yang bekerja sama dengan Pemda Luwu Timur. Dana itu sebesar Rp50 millir.
“Masyarakat ini minta transparansi. Ada Rp 50 miliar dalam MoU. Kami minta 50 persen tapi tidak pernah dipenuhi,” kata dia.
Hendrik juga merespons ikhwal unjuk rasa yang berbuntut penahanan tiga warga, beberapa waktu lalu. Menurut dia, tiga warga itu sampai saat ini masih ditahan.

“Ketiganya melakukan aksi spontanitas atas sikap karyawan PT Vale,” ujar Hendrik.

Dia mengatakan, saat warga sedang berunjuk rasa, mobil perusahaan milik PT Vale melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir menabrak beberapa warga yang sedang berunjuk rasa. Sehingga warga lainnya yang berada di lokasi secara spontanitas melakukan perlawanan.

“Sudah disampaikan pelan-pelan tapi sekuriti bilang tancap gas sehingga ibu-ibu yang turun aksi hampir ditabrak,” ujar Hendrik.

Dalam kasus ini, ia pun menyesalkan sikap kepolisian yang tidak berada di lokasi pada saat warga berunjuk rasa. Hendrik mengatakan, pihak warga sudah melayangkan surat permohonan pengawalan aksi jauh hari sebelumnya.

Hendrik berpendapat, andaikata pada saat aksi ada pengawalan dari pihak keamanan maka besar kemungkinan sikap ugal-ugalan sopir mobil milik perusahaan juga warga yang sedang berunjuk rasa bisa terkendali.

“Pada saat turun di jalan satu orang pun polisi tidak ada yang menjaga. Yang jaga di jalan adalah sekuriti PT Vale. Sementara itu kan bukan kewenangan karena di luar perusahaan,” ujar dia.

Hingga saat ini, warga masyarakat adat disebut masih terus menggelar aksi. Bahkan sampai hari ini pihak PT Vale disebut masih mengabaikan tuntutan masyarakat adat. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya respons dari pihak PT Vale. Sehingga masyarakat adat mengaku akan tetap menggelar aksi sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Beberapa hal yang dituntut warga adat yakni program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) PT Vale dengan prioritaskan masyarakat adat sepuluh anak suku dalam wilayah Kemokolean Nuha, 50 persen anggaran PPM di peruntukan untuk masyarakat adat melalui satu pintu yang dituangkan dalam MoU, transparansi penggunaan dan pelaksanaan PPM PT Vale mulai tahun 2018 sampai sekarang, Segera melakukan evaluasi dan review RI-PPM PT Vale, masyarakat adat masuk dalam ring, berdayakan kontraktor lokal.

Selain itu, masyarakat juga meminta prioritaskan masyarakat pribumi dalam rekrutmen tenaga kerja, pemanfaatan limbah-limbah yang ada di PT Vale untuk mensejahterakan masyarakat adat, memberikan pengembangan sumber daya manusia/pelatihan-pelatihan ketenaga kerjaan, Datangkan ahli independen untuk melakukan penelitian terhadap polusi asap pabrik dan pencemaran terhadap tiga danau yakni Matano, Mahalona, Danau Towuti.

Adapun Kepala Seksi Humas Polres Luwu Timur, Ahmad Wiranata Iswahyudi mengatakan untuk tiga warga yang diamankan masih ditahan di Polres Luwu Timur dengan status tersangka. Tiga orang itu inisal HM, RE, NS. Ketiga orang ini dikenakan pasal 160 KUHP, 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, dan Pasal 55 KUHP.
Kasus ini disebut masih sementara berproses di Polres Luwu Timur sebab dalam video yang beredar diduga pelaku penganiayaan dan pengrusakan mobil perusahaan milik PT Vale tidak hanya tiga orang.

“Kasus ini masih pengembangan karena diduga masih banyak yang terlibat,” bebernya.

Kejadian ini berlangsung pada tanggal 10 Maret sore. Para pelaku diamankan tak lama setelah kejadian.

“Pelaku ini menghentikan mobil (perusaahan) dan memaksa sopir turun dan dipukuli, sebagian lagi merusak mobil, dengan cara melempar dengan batu dan kayu,” ujar Ahmad.

Adapun Senior Manager Communications PT Vale Indonesia Suparman Bayu Aji tidak memberi tanggapan atas dugaan penelantaran sepuluh suku adat dan dana CSR Rp50 miliar yang diduga tidak jelas. Yang bersangkutan tidak merespons pesan singkat yang dilayangkan via WhatsApp. Bayu juga tidak merespons saat dihubungi melalui telepon seluler. (*)

  • Bagikan